Selasa, 23 September 2008

Dukung Ibu Menyusui


Pekan ASI (Air Susu Ibu) Sedunia, lebih tepatnya, Pekan Menyusui Sedunia (World Breastfeeding Week) diperingati setiap tahun. Peringatan ini telah diselenggarakan sejak 16 tahun yang lalu. Dan setiap tahunnya mengusung tema yang berbeda-beda.
Adalah World Alliance for Breastfeeding Action yang menginisiasi peringatan ini. Yang menarik, peringatan ini mendapat dukungan penuh dari dua badan PBB yang sangat erat terkait, UNICEF (The United Nations Children's Fund) dan World Health Organitation (WHO). Kenyataan bahwa menyusui menjadi kegiatan yang makin jarang dilakukan Ibu terhadap bayi yang baru lahir, adanya kecenderungan Ibu untuk memberikan susu formula pada bayi yang baru lahir, serta masih terjadinya pelanggaran kode etik pemasaran susu formula yang juga menjadi kesepakatan WHO, membuat Pekan Menyusui Sedunia menjadi sangat relevan untuk diperingati. Bagaimanapun, peringatan ini merupakan ’pengingat’ bagi kita semua betapa pentingnya memberikan ASI pada anak sejak awal kehidupannya.
Tema Pekan ASI Sedunia tahun ini “Mother Support: Going for the Gold” menggambarkan betapa pentingnya dukungan bagi ibu yang baru melahirkan. Untuk membentuk anak-anak yang terbaik, dengan kualitas ‘emas’, anak perlu mendapatkan makanan terbaik dengan kualitas ‘emas’ pula. Untuk itu, Ibu memerlukan bantuan dan dukungan dari semua sisi. Baik dari keluarga, fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, serta peraturan-peraturan yang dapat mendorong Ibu untuk memberikan ASI secara benar dan tepat.
Pertama, tentu saja dukungan keluarga dan lingkungan sosialnya. Untuk dapat mendukung Ibu memberikan yang terbaik, keluarga dan lingkungan sosial pun harus memiliki pengetahuan dan pemahanan yang sama mengenai pemberian ASI secara eksklusif. Masih sering terjadi, para Ibu baru yang berusaha memberikan ASI secara eksklusif justru dilemahkan oleh keluarganya sendiri. Pengalaman masa lalu, dimana makanan atau minuman lain sudah mulai diberikan setelah bayi berusia 3-4 bulan, potensi menimbulkan konflik orang tua/mertua dan anak. Seringkali keluarga ataupun lingkungan sekitar melemahkan para Ibu dengan pernyataan-pernyataan bahwa ASI saja sudah tidak mencukupi, bayi terlihat kurus, serta mitos-mitos lainnya. Suami atau Bapak dari si bayi, punya peran yang sangat penting. Diyakini, dukungan dan keterlibatan positif si Ayah akan memberi ketenangan dan merangsang oksitoksin Ibu. Oksitoksin adalah hormon penting dalam memproduksi ASI. Yang harus dipahami adalah, menyusui bukan hanya melibatkan dua pihak: Ibu dan Anak, tapi merupakan proses yang memerlukan keterlibatan tiga pihak, Ibu, Anak dan Ayah.
Kedua, dukungan dari institusi pelayanan kesehatan. Rumah sakit, rumah bersalin, dokter, bidan dan perawat punya peran penting untuk keberhasilan Ibu memberikan ASI secara eksklusif. Untuk itu, pihak institusi pelayanan kesehatan serta para tenaga kesehatan tentu juga harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sama soal ASI. Yang terjadi saat ini, masih banyak institusi kesehatan yang memberikan susu formula pada bayi dengan alasan ASI belum keluar atau tidak mau mengganggu tidur Ibu. Bahkan untuk Ibu yang sudah menyatakan ingin memberikan ASI terkadang bayinya masih diberi susu formula tanpa ijin, terutama terjadi pada Ibu baru yang belum mengerti akan haknya. Sebagian institusi kesehatan menanyakan calon Ibu apakah akan memberi ASI atau susu formula. Padahal seharusnya, dengan Kepmenkes No 450 tahun 2004, hal ini tidak lagi boleh terjadi. Adalah kewajiban fasilitas dan tenaga kesehatan untuk mendorong dan membimbing calon Ibu untuk memberikan ASI secara eksklusif, bukan sebaliknya.
Ketiga adalah dukungan tempat kerja. Dengan ketentuan cuti melahirkan yang masih belum berpihak pada Ibu baru, memberikan ASI secara eksklusif selama 6 bulan besar potensi gagalnya. Apalagi masih banyak yang menerapkan cuti 3 bulan harus dibagi dua, setengahnya sebelum melahirkan dan setengahnya lagi setelah melahirkan. Tentu saja ketentuan ini akan merugikan Ibu. Kesempatan Ibu untuk bersama anaknya menjadi sangat terbatas.
Tempat kerja pun, masih jarang yang menyediakan fasilitas tempat Ibu dapat memerah ASI pada waktu kerja. Termasuk memberikan ijin dua kali dalam waktu kerja, selain waktu istirahat makan siang, untuk dapat memerah dan menyimpan ASI sebgai bekal si bayi yang ditinggal di rumah.
Terakhir tentu saja dukungan pemerintah dan regulasi. Kebijakan dan regulasi pemerintah juga ikut menentukan keberhasilan Ibu. Di Indonesia peraturan masih sangat terbatas dan terpencar-pencar. Ada Kepmenkes No. 237 tahun 1997 yang mengatur Pemasaran PASI (Pengganti Air Susu Ibu). Ini pun baru sebagian dari Kode Internasional Pemasaran PASI yang dikeluarkan oleh WHO.
Ada Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 yang menyatakan bahwa susu yang ditujukan untuk anak di bawah usia satu tahun tidak boleh diiklankan secara komersial. Tujuannya agar para Ibu tidak terpapar iklan yang tentu saja akan ‘mencuci otak’ Ibu dengan berbagai kelebihan susu formula. Peraturan ini sampai sekarang masih dilobi oleh industri dengan berbagai alasan, diantaranya dengan memaparkan tingginya jumlah bayi di atas enam bulan yang kekurangan zat gizi mikro. Terakhir adalah Kepmenkes No. 450 tahun 2004 yang mencanangkan bahwa bayi harus diberikan ASI secara eksklusif selama 6 bulan pertama dan diberi makanan tambahan yang tepat serta melanjutkan pemberian ASI sampai bayi berusia 2 tahun. Di sini ditegaskan sepuluh langkah yang dapat mendorong keberhasilan Ibu memberikan ASI secara eksklusif. Terutama peran sarana dan tenaga kesehatan. Di sini, juga diperkenalkan inisiasi menyusu dini walau tidak menggunakan istilah yang persis sama. Intinya, bayi harus segera diletakkan di dada Ibu setelah dilahirkan, dengan hanya dibersihkan sekadarnya. Dan bayi dibiarkan di dada Ibu sedikitnya selama satu jam. Maknanya, bayi akan mengikuti instingnya dan bergerak sendiri (merangkak) mencari payudara Ibu dan mulai menyusu.
Sayangnya, penerapan peraturan ini masih jauh panggang dari api. Posisi para calon Ibu masih lemah. Apalagi mereka yang akan melahirkan anak pertama dan miskin akses informasi. Beberapa kasus menunjukkan institusi pelayanan kesehatan menanyakan ke calon Ibu apakah bayi akan diberikan ASI atau susu formula. Kasus lain, institusi kesehatan tidak menanyakan sama sekali atau bahkan menawarkan agar bayi diberi susu formula saja. Membekali Ibu dan bayi susu formula pada saat ke luar institusi kesehatan pun masih kerap terjadi.
Membekali calon Ibu dengan pengetahuan yang memadai soal ASI memang penting. Adalah hak bayi untuk mendapatkan yang terbaik, yaitu ASI. Dan kewajiban Ibu pula untuk menyusui bayinya. Oleh karena itu menjadi hak Ibu untuk dapat memberikan ASI pada bayi di institusi kesehatan tanpa memperoleh halangan.
Kepmenkes No. 450 tahun 2004 seharusnya tidak hanya sekedar himbauan bagi institusi kesehatan dan tenaga kesehatan, melainkan merupakan kewajiban bagi mereka untuk mendorong dan membimbing Ibu agar berhasil melakukan inisiasi menyusui dini dan memberikan ASI secara eksklusif. Yang harus menjadi target institusi kesehatan adalah keberhasilan Ibu melakukan inisiasi menyusui dini dan menyusui secara eksklusif selama enam bulan, bukan justru berapa susu formula yang terjual...

Huzna Zahir

Tidak ada komentar: