Jumat, 29 Agustus 2008

Menuju advokasi Litigasi Pengendalian Tembakau

Permasalahan tembakau di Indonesia layaknya benang kusut yang nyaris tidak terurai. Sejauh ini pemerintah belum menelorkan kebijakan yang komprehensif dan konkrit terhadap masalah tembakau. Perspektif pemerintah terbatas pada sisi entitas ekonomi belaka, tanpa memperdulikan aspek eksternalitas yang ditimbulkan oleh tembakau. Kendatipun secara finansial-ekonomi, cukai tembakau memberikan kontribusi bagi keuangan dan perekonomian negara sekitar Rp 35 trilyun per tahun. Namun Pemerintah tidak pernah menghitung berapa sesungguhnya biaya kesehatan dan bahkan biaya sosial yang diakibatkan oleh tembakau.

Tak terkecuali sikap permisif mayoritas masyarakat Indonesia terhadap komoditas adiktif ini, bahkan menempatkan rokok/tembakau sebagai sarana untuk mengeratkan pergaulan sosial. Meski demikian, masyarakat tidak bisa serta merta disalahkan begitu saja.

Penanggulangan dampak tembakau di Indonesia mengalami stagnasi – untuk tidak menyebutkan kemunduran – pasalnya, pemerintah belum juga menandatangani (signing) Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang digagas oleh WHO (World Health Organisation). Padahal Indonesia menjadi salah satu delegasi yang terlibat aktif dalam pembahasan dan pembuatan draf FCTC (members of drafting committee), yang kemudian hadir pula (menyetujui dan mengadopsi) dalam Sidang Kesehatan Dunia (World Health Assembly), di Jeneva, Swiss. Ironisnya justru pemerintah mengingkari, dengan tidak membubuhkan tandatangan FCTC, apalagi ratifikasi/aksesi.

Urgensi Advokasi
Sebagai salah satu cara yang dilakukan secara kontinyu, sistematis, dan terorganisir guna mendesak suatu perubahan kebijakan publik, advokasi terbagi menjadi dua jenis. Pertama advokasi non litigasi (non litigation advocacy) non pengadilan, antara lain: kampanye media, penyadaran publik, lobby ke parlemen dan pemerintah, serta aksi demontrasi. Aksi ini yang lebih sering digunakan dan dilakukan kalangan NGO , diantaranya aksi demonstrasi di depan istana Merdeka (06/06/06), dengan 1.000 orang demonstran serta aksi somasi yang sudah dilakukan oleh YLKI melalui media massa.

Sedangkan advokasi litigasi lebih menitik beratkan berperkara melalui pengadilan. Advokasi ini lebih jarang dilakukan apalagi menyangkut pengendalian tembakau di Indonesia.

Ada beberapa case advokasi litigasi pengendalian tembakau di Indonesia, baik yang dilakukan oleh NGO ataupun kelompok masyarakat, antara lain:

1. Gugatan Class Action ’Bentoel Remaja” yang dilakukan oleh R.O. Tambunan (pengacara komersiil) pada tahun 1982. Mengatasnamakan anaknya yang sedang berusia remaja dan seluruh remaja di Indonesia, Tambunan menggugat PT Bentoel – sebagai salah satu produsen rokok terbesar di Indonesia – yang memproduksi rokok dengan merek ’Bentoel Remaja’. Dari nama-nya bisa diartikan bahwa sasaran produk tersebut adalah remaja. Penggugat menyatakan bahwa rokok sebagai produk adiktif dan berbahaya sangat tidak layak untuk ditujukan pada remaja. Hasil dari gugatan ini tidak dikabulkan, dengan alasan belum ada dasar hukum atas gugatan class action pada saat itu.

2. Gugatan Legal Standing Pall Mall, yang dilakukan oleh Yayasan Kakak (Solo) pada tahun 2000. Gugatan ini ditujukan kepada PT BAT Indonesia sebagai produsen Pall Mall, yang menggelar aksi promosi dengan melakukan kontes telanjang bagi gadis-gadis ABG. Dengan iming-iming hadiah sebesar IDR 500.000 serta julukan ’Ratu Telanjang’ bagi mereka yang berani menyisakan sedikit penutup di badan. Kakak sebagai NGO dengan kepedulian terhadap konsumen anak, merasa perlu menggugat PT BAT Indonesia, dengan pertimbangan konsumen dari pertunjukan tersebut melibatkan anak dibawah umur. Kakak menuntut kepada PT BAT Indonesia, untuk meminta maaf di sejumlah media massa, menghentikan acara yang seronok tersebut dan memberi ganti rugi kepada masyarakat. Meskipun pokok perkara tidak diakui, namun legal standing-nya diakui dan menghentikan tour promosi ke-3 PT BAT Indonesia di kota Solo dari rencana semula di 10 kota.

YLKI, Advokasi dan Pengendalian Tembakau
Tercatat pada tahun 2000, YLKI melakukan monitoring terhadap perkembangan iklan rokok baik melaui media cetak maupun elektronik. Sikap ini diambil YLKI dalam rangka mengetahui tingkat pelanggaran yang dilakukan mengenai kuantitas maupun kualitas iklan rokok. Kedua, sebagi antisipasi dini dan advokasi agar PP No. 81 / 1999 yang berlaku saat itu, mempunyai kewibawaan serta tidak sekedar peraturan yang hambar bak macan ompong. Dalam PP No. 81 / 1999 mengatur tentang bagaimana iklan rokok, diberikan batasan yang sangat ketat, dengan space iklan dipersempit yang hanya untuk media cetak, sedangkan media elektronik tidak diperkenankan sama sekali.

Monitoring yang dilakukan serentak terhadap lima stasiun televisi swasta, mengambil waktu tayang antara jam 18.00 – 22.00 pada tanggal 23 – 27 Pebruari 2000, kecuali TPI yang dilakukan pada tanggal 29 Pebruari – 4 Maret 2000. Diambilnya jam tayang tersebut dengan alasan merupakan primetime dengan acara unggulan yang banyak dikonsumsi dari kalangan remaja, anak, dan ibu rumah tangga.

Dari kegiatan tersebut didapatkan hasil seperti yang terekam dalam tabel.

Tabel 02. Rating Stasiun Televisi Swasta dalam Penayangan Iklan Rokok

No. Stasiun Jumlah Menayangkan
1. RCTI 43
2. SCTV 43
3. Indosiar 33
4. ANTV 19
5. TPI 7
Jumlah 145
Sumber : WK – YLKI

Tabel 03. Rating Merk pemasang iklan di Media Elektronik

Merk Jumlah Ditayangkan
Sampoerna A Mild 43
Djarum Super 43
Gudang Garam 33
Pall Mall 19
Long Beach 7
Bentoel Light 9
Sampoerna Hijau 5
Mustang 3
Wismilak Diplomat 3
Wismilak Spesial 1
Kennedy 1
Jumlah 145
Sumber : WK – YLKI

Monitoring kedua dilakukan oleh YLKI pada bulan Oktober – Nopember 2000 dengan menemukan 106 pelanggaran jam tayang.

  • Gugatan Legal Standing pelanggaran jam tayang iklan rokok
Menyikapi hasil monitoring tersebut, YLKI bersama dengan NGO mitra, antara lain YJI (Yayasan Jantung indonesia), Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (WITT), Yayasan Kanker Indonesia (YKI), LM3 (Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok), melakukan gugatan Legal Standing terhadap dua produsen rokok terbesar di Indonesia, yaitu PT Djarum Kudus dan PT H.M. Sampoerna yang melanggar jam tayang iklan rokok di televisi. Kedua produsen tersebut memilih jam tayang iklan rokok di luar jam 21.30 s/d 05.00 sebagai ketentuan penayangan iklan rokok di media elektronik. Sebagai tuntutan yang diajukan dalam gugatan meliputi permintaan maaf dari tergugat melalui media massa, menghentikan penayangan iklan rokok diluar ketentuan jam tayang dan membayar ganti rugi sebesar IDR 500 milyar kepada lembaga independen yang ditunjuk oleh majelis hakim. Dari gugatan ini didapatkan pengakuan legal standing-nya, namun pokok perkara ditolak mulai dari tingkat pertama pengadilan sampai pada Mahkamah Agung.

  • Gugatan Uji materiil Peraturan Pemerintah
Selain advokasi litigasi diatas, secara historis tahun 2003 YLKI tercatat juga mengajukan gugatan uji materiil PP No 19 / 2003 bersama dengan YJI, WITT, YKI, LM3, PGRI, YAI, Yapnas. Dalam gugatan yang memperkarakan terbitnya PP No 19 / No 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, sebagai revisi dari PP No. 81 / 1999 dianggap bertentangan dengan UU No. 23 / 1992 tentang kesehatan. Peraturan Pemerintah baru tersebut terindikasi banyak diintervensi oleh kepentingan industri rokok. Dalam tuntutan kali ini, kembali Mahkamah Agung menolak permintaan penggugat, serta berpendapat terbitnya PP No 19 / No 2003 tidak bertentangan dengan UU No. 23 / 1992.

  • Gugatan Legal Standing Perbuatan Melanggar Hukum oleh Penguasa
Memasuki tahun 2008, kembali YLKI melakukan gugatan berkaitan dengan pengendalian tembakau yang dilakukan bersama NGO mitra, Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) dan KuIs.

Gugatan telah didaftarkan ke Pengadilan NegeriJakarta Pusat tanggal 19 Juni 2008 yang diawali non litigation advocation dengan aksi orasi dan berjalan kaki dari sekitar tugu monas menuju ke gedung Pengadilan Negeri Jakarta pusat. Sebagai pihak tergugat litigasi kali ini adalah Presiden Republik Indonesia (pemerintah/eksekutif) karena tidak meratifikasi/aksesi FCTC; beserta dengan Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif) yang tidak memasukan RUU Penanggulangan Dampak Tembakau bagi Kesehatan dalam prolegnas tahun 2006 dan 2007.

Tuntutan Advokasi yang diajukan bahwa pemerintah segera meratifikasi/mengaksesi FCTC serta menjadikannya isu publik secara meluas serta memasukan penanggulangan dampak tembakau dalam Prolegnas 2008, dan terbitnya UU mengenai hal itu.

Mengapa advokasi litigasi?
Minimal terdapat dua alasan kuat untuk melakukan aksi advokasi litigasi kepada pemerintah berkaitan dengan FCTC; pertama, secara teknis Pemerintah terlibat aktif dalam proses pembahasan dan pembuatan draf FCTC. Kedua, absennya Pemerintah selama ini dalam isu FCTC.

Secara konstitusional, ketika Pemerintah tidak melakukan tindakan apa-apa terhadap FCTC bisa dikatakan melanggar Konstitusi (UUD ’45), yang menjelasakan, bahwa : setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28H, ayat 1, UUD ‘45); dan, setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Pasal 28J, ayat 1, UUD ’45). Bahkan tidak melakukan ratifikasi/aksesi FCTC merupakan bentuk pelanggaran HAM, karena Pemerintah melakukan “pembiaran” (crime by ommision) terhadap hak-hak masyarakat.


Impact Pasca Gugatan
Dalam setiap gugatannya, YLKI menempatkan target advokasi litigasinya bukan sekedar hendak mencapai siapa menang – siapa kalah. Namun lebih dari itu keinginan menunjukan bahwa produsen rokok banyak melakukan pelanggaran hak-hak publik. Meski dari tuntutan itu tidak semua dikabulkan, namun dampak gugatan tersebut cukup signifikan.

Pasca gugatan legal standing misalnya, pelanggaran jam tayang iklan rokok di media elektronik menurun secara drastis. Salah satu stasiun swasta yang ceroboh menayangkan iklan rokok disiang hari, langsung meminta maaf pada pemirsa seketika itu juga serta secara tertulis mengirimkan surat permohonan maaf kepada lembaga terkait, termasuk YLKI.

Secara substansial, iklan rokok yang muncul di media menjadi tertib, tidak lagi memperagakan model yang sedang merokok atau wujud rokok secara nyata. Kemunculan iklan di media, khususnya elektronik, lebih banyak menggunakan model brand image dan corporate image.

Dalam kasus gugatan Pall Mall, memberi pengaruh dengan dihentikannya semua bentuk promosi Pall Mall, serta penarikan kepala PT BAT Indonesia (Mark Jenning) ke kantor pusat di London serta digantikan dngan orang lain.

Di beberapa negara, advokasi litigasi dengan gugatan model class action maupun legal standing, termasuk dalam kasus rokok, terbukti menjadi cara yang efektif unutk memperjuangkan hak–hak konsumen yang terampas.

Cerminan sukses Litigasi di Amerika
Kasus yang terjadi tahun 1998 oleh negara bagian – pihak pemerintah lokal – yang menghasilkan suatu keputusan dengan pelarangan perusahaan rokok memasang iklan di jalan-jalan (billboard). Keputusan lainnya adalah menaikkan harga dan ketersediaan dana (available cost) yang di berikan oleh organisasi yang melakukan pengendalian terhadap dampak tembakau (tobacco control).

Kasus lain yang juga berhasil adalah gugatan para pegawai terhadap perusahan dimana ia bekerja. Gugatan ini diajukan oleh asosiasi flight attendant (pramugara-pramugari), karena beberapa puluh tahun yang lalu dalam pesawat terbang masih permisif untuk merokok. Hal itu mengakibatkan banyak pramugara-i yang menderita karena paparan asap atau menjadi perokok aktif. Ganti rugi yang diajukan sejumlah 300 juta dolar, dikabulkan. Sebagian besar dana tersebut digunakan untuk membantu proses advokasi litigasi dan investigasi untuk penanggulangan masalah merokok.

Kasus terbaru terjadi di Florida yang masih dalam proses. Dalam kasus ini melibatkan sekitar 10.000 jumlah perokok aktif serta keluarga bagi yang telah meninggal, menuntut perusahaan rokok karena dianggap melakukan kriminalitas. Dalam dokumen gugatan, dideskripsikan mengenai jenis-jenis kategori kriminal yang dilakukan oleh perusahaan rokok. Sekurangnya ada 7 jenis penipuan yang dilakukan oleh perusahaan rokok. Dalam hal ini perusahaan sudah bisa disebut telah melakukan tindakan kriminal secara terorganisir.

Strategi lain di India, bahwa beberapa NGO bisa mengajukan kasus dalam rangka kepentingan publik. Kasus ini sudah sampai di tingkat mahkamah agung. Beberapa pengacara di India membawa kasus bahwa rokok telah mengancam kepentingan publik.


Kesimpulan

Target utama dari advokasi litigasi “penanggulangan masalah rokok” berfungsi sebagai media pendidikan. Dari hasil keputusan pengadilan diharapkan berpengaruh terhadap masyarakat untuk bisa mengerti dan belajar memahami bahaya merokok.

Litigasi sangat penting untuk mendidik masyarakat, sebab dalam proses litigasi bisa mengungkap informasi produk dan perusahaan rokok yang sangat membahayakan. Perusahaan memiliki kumpulan informasi bahwa rokok bisa membahayakan konsumen, yang sengaja ditutup-tutupi. Tapi dalam proses litigasi, informasi itu harus keluar.

Dalam advokasi litigasi bisa menjadi salah satu instrumen untuk mendesak kepada pemerintah untuk membuat regulasi, atau mengoptimalkan regulasi yang telah ada.

Oleh
Klik Agus Sujatno

Tidak ada komentar: