Selasa, 26 Agustus 2008

Sesat Pikir Kebijakan Tembakau di Indonesia

Ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan belahan dunia lain begitu getol mengendalikan dampak buruk tembakau; lain halnya Pemerintah Indonesia, makin “menuhankan” industri tembakau. Bukan saja terejawantahkan dalam kebijakan yang pro industri tembakau, frame of thinking pejabat publiknya pun terbeli oleh industri ini; tak terkecuali Presiden Yudhoyono dan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari. Kedua “bos eksekutif” ini mengalami sesat pikir yang cukup fatal dalam meneropong eksistensi industri tembakau. “Kalau rokok tidak boleh dijual secara ketengan, kasihan tukang ojek, nanti mereka ngga bisa membeli rokok”, kata Siti Fadillah Supari dalam suatu diskusi. Celoteh Menteri Kesehatan yang ahli jantung ini jelas mengggelikan, bukan saja dari sisi substansi, tetapi lebih karena jabatan yang disandang, yang seharusnya menjadi garda depan pengendalian tembakau. Presiden Yudhoyono sami mawon, yang ingin mengentaskan kemiskinan dengan menyokong pembukaan pabrik rokok di kampungnya, Pacitan, Jawa Timur. Industri rokok adalah biang kemiskinan, kok dijadikan instrumen untuk mengentaskan kemiskinan (lucu!).
WHO mengestimasikan, penyakit akibat tembakau akan menjadi pagebluk baru yang melanda dunia, setelah virus HIV/AIDS. Jika tidak dikendalikan serius, pada 2030 terdapat 8,3 juta jiwa terenggut oleh penyakit ini. Dan tragisnya, 80 persen terjadi di negara berkembang. Untuk mengantisipasi pagebluk ini WHO telah menginisiasi sebuah kerangka hukum bertajuk Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau, yang telah diratifikasi oleh 168 negara, dan menjadi hukum internasional pula. Selain itu, untuk mengingatkan memori masyarakat dunia, setiap 31 Mei ditetapkan sebagai World No Tobacco Day atau Hari Tanpa Tembakau se-Dunia. Kali ini tema peringatan yang diusung adalah Tobacco Free for Youth, Bebaskan Anak Muda dari Tembakau!
Tema ini amat relevan dengan kondisi empiris di negeri ini, sebab permasalahan merokok pada anak dan remaja kini posisinya “siaga satu”. Hasil Survei Ekonomi dan Kesehatan Nasional (SUSENAS) 2004 membuktikan, prevalensi merokok anak usia 13-15 tahun mencapai 26,8 persen dari total populasi. Trend usia inisiasi merokok pun kian dini, yakni 5-9 tahun dan akan mengalami lonjakan signifikan, dari 0,4 persen (2001) menjadi 1,8 persen pada 2004. Fenomena ini kian mewabah jika Pemerintah, bahkan masyarakat, masih memelihara sesat pikir dalam melihat peran sosial ekonomi industri rokok. Berikut faktanya.
Pertama, kontribusi sektor tembakau. Pendewaan terhadap industri tembakau begitu sempurna, nyaris di semua lini. Seolah industri ini ‘sinterklas’ yang bisa menyelamatkan negeri, dan akan terjadi “kiamat ekonomi” kalau perannya dikendalikan. Namun, jika melihat faktanya, sungguh, industri rokok adalah sinterklas palsu. Pada skala ekonomi makro (Produk Domestik Bruto), kontribusi industri dan pertanian tembakau tidak signifikan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan hasil analisa Lembaga Demografi Universitas Indonesia (2007), kontribusinya hanya Rp 29 trilyun atau 1,4 persen dari total komoditas. Bandingkan misalnya, dengan sektor konstruksi yang kontribusinya Rp 111,94 trilyun (5,4%). Tenaga kerja yang terserap pun terlihat biasa saja, hanya 1 persen dari total penyerapan tenaga kerja, yaitu 97 juta pekerja. Itu pun dengan upah yang amat rendah, hanya Rp 662/bulan untuk sektor manufaktur Rp 81.000/bulan untuk pertanian tembakau.
Kedua, eksploitasi kemiskinan. Idealnya, yang mengonsumsi tembakau adalah masyarakat yang berkantong tebal. Nyatanya, 70 persen perokok justru berasal dari rumah tangga miskin. Hasil SUSENAS 2003-2005 membuktikan, konsumsi rumah tangga miskin untuk tembakau menduduki rating kedua (12,43%), setelah konsumsi padi-padian (19,30%). Jadi, untuk keperluan tembakau keluarga miskin mengalokasikan 15 kali lipat dari keperluan daging (0,85%), 5 kali lipat dari keperluan susu dan telur (2,34%), 8 kali lipat dari keperluan pendidikan (1,47%), dan 6 kali lipat dari keperluan kesehatan (1,99%). Seorang petani di Wonosobo, sebagai contoh, menghabiskan Rp 274 ribu untuk merokok, tapi berkeberatan atas biaya SPP anaknya yang hanya Rp 7.000/bulan. Seharusnya Pemerintah merinding membaca data ini. Keluarga miskin justru “membunuh diri” dengan uangnya yang amat minimalis, sementara pengusaha rokok berpesta-pora, bertiwikrama menjadi orang terkaya di Indonesia.
Ketiga, penyalahgunaan cukai. Kontribusi cukai rokok sangat signifikan, rating ketiga setelah pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai. Namun, kendati pada 2007 nilainya sebesar Rp 44 trilyun, toh cukai rokok di Indonesia masih tergolong terendah di dunia, hanya 30-an persen. Bandingkan dengan cukai rokok di negeri lain, seperti; Jepang (61%), China (40%), India (72%), Thailand (75%), Malaysia (49-57%), Philipina (64-49%), dan Vietnam (45%). Hanya dengan Laos cukai rokok di Indonesia bisa unggul, yaitu 20 persen. Selain masih rendah, secara konsepsional peruntukkannya pun menyimpang. Di Indonesia, cukai rokok mengalir ke kas Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara, dan semuanya untuk dana pembangunan, bukan untuk mengendalikan atas barang yang dikenai cukai, yaitu rokok. Jelas, hal ini menyimpang dari formula universal bahwa, cukai adalah “pajak dosa” (sin tax), sekian persen dari cukai seharusnya dialokasikan untuk membatasi/mengendalikan bahaya rokok (earmarking tax).
Di banyak negara, hal ini lazim dilakukan; seperti Australia, Inggris, Amerika Serikat, Taiwan, bahkan Thailand. Di Taiwan, 70 persen earmarking tax digunakan untuk asuransi kesehatan nasional, dan 30 persen sisanya untuk penanggulangan dampak tembakau, promosi kesehatan, dan subsidi pemeningkatan kesejahteraan. Di Australia, 60 persen earmarking tax digunakan untuk promosi kesehatan dan promosi olahraga. Di Inggris beda lagi, earmarking tax 100 persen didedikasikan bagi pelayanan rumah sakit dan kesehatan nasional. Dan, di Thailand, 2 persen earmarking tax dialokasikan untuk keperluan promosi kesehatan. Tetapi, politik percukaian di Indonesia malah sebaliknya. Menurut UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai, alokasi 2 persen dari cukai rokok yang terwadahi dalam “Dana Bagi Hasil”, justru dialokasikan untuk peningkatan kualitas bahan baku dan pembinaan industri. Tak satu sen pun menetes ke sektor kesehatan!
***
Terbukti secara sah dan meyakinkan, tembakau bukan saja berdampak bagi kesehatan, tetapi juga melahirkan berbagai penyakit sosial, salah satunya adalah kemiskinan. Bayangkan saja, seandainya anggaran untuk tembakau itu dialihkan untuk keperluan lain yang lebih mendesak, seperti lauk-pauk, kesehatan, dan pendidikan; maka fenomena lost generation pada keluarga miskin tidak akan terjadi. Maka, jika Pemerintah ingin menyembuhkan rakyatnya dari penyakit sosial yang bernama kemiskinan, obatnya bukan dana BLT, tetapi membebaskan keluarga miskin dari ketergantungan tembakau. Kiat untuk membebaskan ketergantungan itu tidak terlampau sulit. Praktek internasional membuktikan, rezim cukai yang ditinggikan, adalah obat mujarab untuk menekan dan menggeser perilaku konsumen rokok. Ketakutan Pemerintah jika cukai rokok dinaikkan akan menggerus pendapatan, baik secara teori maupun praktik empiris, tidak terbukti. Sebaliknya, pendapatan Pemerintah akan melambung secara signifikan. Hasil analisa Lembaga Demografi UI memberikan tengara, bahwa akumulasi kenaikan cukai hingga 100 persen pun, secara umum akan berdampak “neto positif” terhadap perekonomian nasional.
Aneh bin ajaib, jika semua komoditas bahan pangan harganya membubung tinggi, tetapi harga rokok malah bergeming. Di tengah kebodohan dan kemiskinan akut yang dideritanya, menjadi tidak adil, jika masyarakat miskin justru asyik berkelon dengan barang yang secara sempurna merusak eksistensi kemanusiannya. Dimanakah letak nalar sehat kita, jika sesat pikir semacam ini terus dilanggengkan?

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI



Tidak ada komentar: