Selasa, 26 Agustus 2008

Pelembagaan Perlindungan Konsumen

Waktu berjalan terus. Sembilan tahun sudah Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) diterbitkan, berarti sudah sewindu UUPK ini dijadikan acuan hukum bagi permasalahan konsumen. Pertanyaannya, efektifkah UUPK?

Sementara itu, sudah 35 tahun pula istilah konsumen dikumandangkan di negeri ini. Terhitung sejak didirikannya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada 11 Mei 1973 oleh mereka yang peduli dengan produk dalam negeri, termasuk kualitasnya. Apa yang dicapai setelah sekian lama YLKI berdiri?

Persoalan konsumen ternyata tidak pernah berhenti dari waktu ke waktu, bahkan terasa makin kompleks. Berbagai perubahan sosial, ekonomi, pengetahuan, teknologi, juga politik; jelas menimbulkan perubahan dalam pola, jenis, dan bobot permasalahan dan keluhan konsumen.

Bicara efektivitas keberadaan UUPK, dapat dilihat dari berbagai sisi. Diantaranya, apakah pasal-pasal dalam undang-undang ini benar-benar dapat dimanfaatkan oleh konsumen untuk melindungi dirinya? Juga, apakah kelembagaan yang diamanatkan oleh UUPK telah terbentuk dan berfungsi dengan benar. Kemudian, apakah para pelaku usaha juga mengindahkan, atau menggunakan UUPK ini sebagai rujukan perilaku perusahaannya. Dan seabreg pertanyaan yang bisa kita lontarkan.

Menjawab pertanyaan pertama, YLKI memang selalu menggunakan pasal-pasal yang tercantum dalam UUPK untuk menindaklanjuti permasalahan dan pengaduan konsumen. Selain itu, berbagai isu yang muncul di masyarakat pun selalu dapat dikaitkan dengan UUPK. Sebut saja, perang iklan tarif seluler yang sudah tidak terkendali.

Memang, isu kenaikan harga dan kelangkaan bahan pangan pokok tidak termasuk dalam kerangka UUPK. Karena, UUPK hanya mengurusi hubungan transaksional konsumen dengan pelaku usaha. Artinya, hanya berlaku apabila konsumen menghadapi masalah pada saat dan setelah membeli dan menggunakan barang atau jasa tertentu.

Demikian juga soal kebijakan energi serta kelangkaan energi yang terjadi negeri ini, yang jelas-jelas menyusahkan masyarakat. Meski YLKI selalu angkat bicara memperjuangkan kepentingan masyarakat - dengan selalu mengingatkan tanggung jawab negara akan jaminan ketersediaan dan keterjangkauan, sulit untuk menuntut atau menyeret institusi tertentu ke ranah hukum.

Terkait kelembagaan, UUPK mengamanatkan tidak kurang dari tiga macam kelembagaan yang dapat berperan dalam perlindungan konsumen. Pertama, tentu saja organisasi konsumen, yang dalam UUPK disebut sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Kenapa perlu untuk disebutkan pertama? Karena jauh sebelum UUPK ini disahkan, organisasi konsumen sudah terbentuk terlebih dahulu.

YLKI yang berlokasi di Jakarta, merupakan organisasi yang pertama, selanjutnya diikuti dengan organisasi konsumen lain di berbagai daerah, seperti : Yogyakarta, Medan, Makasar, Bandung, Surabaya dan kota lainnya. Tanpa bermaksud menyombongkan diri, YLKI merupakan penggagas dan membidani lahirnya UUPK. Tidak tanggung-tanggung, gagasan ini secara historis telah mulai disuarakan sejak 1975-an.

Sebelum UUPK disahkan, paling tidak baru ada sekitar belasan organisasi konsumen di Indonesia. Namun setelah UUPK – yang mendorong dibentuknya LPKSM di daerah tingkat II (kabupaten/kota), saat ini sudah hampir 200 LPKSM yang tercatat di Direktorat Perlindungan Konsumen, Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, Departemen Perdagangan. Tentu saja dari 200 LPKSM ini masih perlu dilihat kembali berapa yang masih aktif dan berapa yang sudah ”menghilang”.

Kedua,Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Badan ini seharusnya menjadi institusi independen yang paling tinggi dan bergengsi dalam bidang perlindungan konsumen. Bertanggungjawab langsung pada Presiden, BPKN berperan dalam menentukan arah dan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia. Kenyataannya, belum cukup terlihat hasil nyata sepak terjangnya bagi perlindungan konsumen Indonesia.

Dan, ketiga, adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Institusi ini juga didorong untuk dibentuk di daerah tingkat II (kabupaten/kota), sebagai alternatif tempat penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Badan ini seharusnya mempunyai kewenangan cukup untuk menghasilkan keputusan final bagi konsumen, dan pelaku usaha wajib melaksanakan putusan yang telah ditetapkan. Kenyataannya, BPSK ternyata tidak kuasa memaksa pelaku usaha yang bermasalah untuk datang memenuhi panggilan. Dan putusan BPSK pun tidak otomatis berkekuatan hukum tetap. Tetap saja harus disahkan terlebih dahului oleh Pengadilan Negeri setempat.

Selain ketiga lembaga yang diamanatkan UUPK ini, YLKI melihat ada bentuk lain yang patut didorong dan diperjuangkan. Kelembagaan ini bisa ada dalam institusi pemerintah, namun dapat pula dibangun oleh pelaku usaha. Yang pasti, kelembagaan ini mengakomodasikan perlindungan konsumen.

Lepas dari efektivitas kelembagaan yang terbentuk, ada beberapa model yang telah ada. Pertama,inisiatif dalam institusi pemerintahan. Contoh yang ada adalah dibentuknya Sub Direktorat Perlindungan Konsumen di bawah Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE). Luluk Sumiarso, Direktur Jenderal LPE saat itu, berinisiatif membentuk subdirektorat ini untuk menampung dan membantu menyelesaikan persoalan konsumen terkait listrik.

Bagi konsumen, dibentuknya unit ini menunjukkan pengakuan ” Bapak Dirjen” bahwa pemerintah harus pula memikirkan sisi konsumen, tidak hanya mengurusi penyedia jasa ketenagalistrikan. Keberadaan unit ini sedikit banyak meringankan tugas YLKI. Apabila PT PLN, sebagai satu-satunya penyedia listrik, membandel, unit ini – dalam kapasitasnya sebagai regulator, dapat ikut ”menjewernya”.

Contoh lain adalah yang dibentuk atas inisiatif pelaku usaha. Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI), merupakan tempat penyelesaian sengketa asuransi alternatif bagi konsumen. Lembaga ini dibentuk oleh Asosiasi Asuransi Indonesia yang notabene perkumpulan perusahan asuransi yang beroperasi di Indonesia. Karena regulasi mengharuskan seluruh perusahaan asuransi menjadi anggota asosiasi, badan mediasi otomatis punya kuasa untuk memanggil perusahaan asuransi yang bermasalah dan dikeluhkan konsumen.

Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang dilansir Bank Indonesia (BI) merupakan contoh lain pelembagaan perlindungan konsumen. Pilar ke enam API adalah perlindungan konsumen. Terkait pilar ini BI mengeluarkan PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Di sini dinyatakan bahwa setiap Bank harus memiliki unit penyelesaian pengaduan nasabah.

Sebagai pelengkap, BI juga mengeluarkan PBI No.8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Untuk para konsumen atau nasabah yang masih belum terpuaskan oleh unit pengaduan nasabah yang dikelola bank, dipersilahkan memanfaatkan lembaga ini. Beda lembaga ini dengan BMAI adalah, yang disebut pertama merupakan inisiatif BI, dan pelaku usaha perbankan terlihat masih sangat enggan untuk menanggung tanggung jawab ini seperti halnya yang terjadi pada sektor asuransi.

Tampaknya, salah satu tugas YLKI memang mendorong adanya berbagai tempat pengaduan bagi konsumen untuk menyediakan akses bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan dan permasalahan pada saat menggunakan dan memanfaatkan suatu barang atau jasa. Tidak hanya di lingkungan pelaku usaha YLKI sangat menghargai pelaku usaha yang berani menyediakan nomor telepon yang dapat dihubungi setiap saat oleh konsumen. Asal, nomor ini benar-benar didedikasikan untuk melayani dan menyelesaikan masalah konsumen, tidak sekadar tempat untuk ”menampung” keluhan tanpa jaminan penyelesaian yang jelas. Juga di lingkungan pemerintahan, terutama sektor-sektor penyedia layanan publik.

Sekarang, tinggal bagaimana konsumen memanfaatkan tempat-tempat pengaduan yang sudah ada. Sikap pro aktif konsumen memanfaatkan akses ini akan mendorong pelaku usaha dan pemerintah untuk selalu berupaya memperbaiki kualitas produk serta kinerjanya.

Oleh : Huzna Zahir, Ketua Pengurus Harian YLKI

Tidak ada komentar: