Selasa, 26 Agustus 2008

Makan di Street Food, kenapa tidak?


Sektor makanan jajanan/kaki lima merupakan salah satu unit usaha skala kecil menengah (UKM) di Indonesia yang berkontribusi cukup besar dalam pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data BPS 2006, sector UKM berkontribusi pada besaran Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 53,3% (dengan rincian usaha kecil 37,7% dan usaha menengah 15,6%), sementara kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi mencapai 2,2%, sedangkan usaha besar berkontribusi 2,4%. Kontribusi yang besar tersebut juga terlihat dari penyerapan tenaga kerja. Jika pemerintah selalu berharap investor masuk untuk menyerap tenaga kerja yang besar, maka sektor usaha kecil ternyata lebih mempunyai kontribusi yang konkrit dalam penyerapan tenaga kerja. Untuk sektor usaha makanan kecil, jika dihitung dari rantai produksi hingga penjualan saja, maka satu unit mampu menyerap 2-3 tenaga kerja. Jika ada 20 juta unit usaha makanan kecil yang tersebar di Indonesia, maka tenaga kerja yang terserap sudah 40-60 juta orang. Tetapi pemerintah mengabaikan kontribusi ini, sehingga pembinaan terhadap sektor usaha kecil sangat minim dilakukan, termasuk pembinaan untuk sektor usaha makanan kaki lima.

Pada tahun 2006, jumlah populasi usaha kecil mencapai 48,7 juta unit, naik 3,9% dari tahun sebelumnya (sumber BPS 2006). Dari usaha kecil tersebut, usaha yang paling dominan (20% dari usaha kecil atau sekitar 9,74 juta unit) dilakukan adalah usaha mi bakso. Dominannya usaha ini juga menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memang merupakan pengkonsumsi mii nomor tiga besar di dunia setelah China dan Jepang.

Kemudian, konsentrasi usaha kecil ini memang berada di kota Jakarta. Jakarta adalah kota yang memiliki tingkat urbanisasi 100%. Ribuan orang setiap tahun datang ke Jakarta untuk mencari nafkah. Sebagian besar diantaranya kurang berpendidikan, kurang modal dan low skill, sehingga pekerjaan yang sesuai diantaranya adalah sebagai pedagang kaki lima. Pilihan usaha ini dilakukan karena tidak membutuhkan modal besar, konsumen/pasar besar dan tidak membutuhkan keahlian khusus.

Konsumen/pasar yang besar dapat ditinjau dari jumlah penduduk di Jakarta yang mencapai 8,864,519 jiwa (BPS,2006). Sementara penduduk yang menglajo (komuter) dari kota penyanggah (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) ke Jakarta untuk bekerja pada pagi – malam hari mencapai 6-7 juta jiwa. Jadi jumlah penduduk pada siang hari mencapai 15-16 juta jiwa. Jakarta dan keempat kota penyangganya yaitu Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi memang merupakan kota yang paling dinamis dan penggerak ekonomi nasional, dengan total jumlah penduduk sebesar 21 juta jiwa, sehingga merupakan 10% dari total populasi Indonesia (210 juta jiwa), sementara luas wilayahnya hanya 638.000 ha atau 0,3% dari total wilayah Indonesia.

Jumlah masyarakat yang besar ini tentu membutuhkan asupan pangan yang memadai. Apalagi khusus untuk penduduk yang menglajo, mereka berangkat pagi-pagi sekali (biasanya pukul 6 pagi) dan pulang menjelang malam hari, sehingga tidak sempat sarapan, makan siang, dan makan malam. Bagi kelas menengah, untuk memenuhi kebutuhan pangan yang murah, gampang diakses (karena langsung di pinggir jalan; hampir di semua jalan arteri terdapat street food ini), dan rasa yang bervariasi, tentu pilihan street food menjadi pilihan yang utama.

Walaupun kebutuhan akan makanan jajanan ini memang dirasakan oleh konsumen (karena ‘pasar’ memang ada), tetapi pengelolaan pedagang kaki lima ini belum dilakukan. Hampir tidak ada pembinaan bagi pedagang kaki lima yang menjadikan kualitas makanan pun dapat membahayakan konsumen. Selain itu, penataan lokasi pedagang juga tidak dikelola dengan baik. Para pedagang sering memakai trotoar dan badan-badan jalan. Hal ini tentu semakin membuat semrawut kondisi transportasi, dan membahayakan para pejalan kaki. Sedangkan bagi pemerintah, sektor informal semacam ini juga sering dianggap tidak legal, alhasil sering menjadi sasaran penggusuran. Mereka juga sering menjadi sasaran pemerasan oleh oknum pemerintah, agar tetap dapat berjualan.

Meninjau hal diatas, tentu perlu dilakukan intervensi demi mengatasi masalah tersebut. Intervensi tersebut antara lain pemetaan masalah dalam bentuk survey, baik kepada street food vendor maupun kepada konsumen, kemudian kampanye dan advokasi kepada pemerintah daerah agar dapat melakukan pembinaan dan penataan secara optimal kepada pedagang kaki lima ini.

Profil Konsumen Makanan Kaki Lima

Konsumen yang disurvei berjumlah 50 orang, merupakan konsumen dari pedagang yang disurvei. Komposisi konsumen terdiri dari perempuan 52% dan laki-laki 48%. Hal ini menunjukkan bahwa penggemar makanan jajanan ini tidak tergantung gender, karena komposisi yang hampir sama antara konsumen wanita dan pria, walaupun wanita sedikit lebih tinggi. Kemudian untuk pendidikan, konsumen dengan lulusan SMA/SMEA/STM merupakan komposisi tertinggi, yaitu 48%, diikuti dengan tingkat pendidikan S1 20%, SMP 12%, D 1-3: 12%, dan SD 8%. Ini menunjukkan tingkat pendidikan konsumen cukup memadai karena konsumen yang mengenyam pendidikan tinggi (strata Diploma hingga S1) mencapai 32%, sedangkan SMA mencapai 48%.

Sedangkan untuk pekerjaan konsumen, sebagian besar konsumen bekerja sebagai karyawan swasta (26%), wirausaha kecil (18%), buruh/jaga toko (16%), pelajar (12%), ibu rumah tangga (8%), guru (8%) pegawai negeri sipil (8%), supir (4%). Gambaran pendidikan dan pekerjaan konsumen memang menunjukkan bahwa konsumen pengkonsumsi makanan kaki lima ini adalah konsumen kelas menengah ke bawah.

Fruekensi Mengkonsumsi Makanan Kaki Lima

Frekuensi konsumsi street food ini ternyata cukup sering, karena 32% konsumen menyatakan setiap hari makan di street food, 52% menyatakan mengkonsumsi mingguan, 4% bulanan dan hanya 6% yang menyatakan beberapa kali dalam setahun. Ini menunjukkan bahwa konsumsi makanan kaki lima ini telah menjadi kebutuhan dasar. Konsumen bisa 2-3 kali dalam sehari untuk mengkonsumsi makanan kaki lima, biasanya untuk sarapan dan makan siang atau sarapan dan makan malam. Di Indonesia, kondisi makanan kaki lima selalu ramai, dengan jam tertinggi adalah pada malam hari.

Sementara alasan utama konsumen dalam mengkonsumsi street food adalah karena keterjangkauan/murah (86%), mudah tersedia (72%), enak/lezat (60%), kebersihan dan higinitas warung (44%), dan karena tidak sempat memasak di rumah (16%). Memang jika dibandingkan dengan harga makanan di restoran harga makanan kaki lima jauh lebih murah. Misalnya, perbandingan harga gado-gado untuk makan siang Rp 7.000 – Rp 8.000, sementara jika konsumen makan di restoran atau tempat makan yang permanent, harga makanan bisa mencapai Rp 12.000 – Rp 20.000/orang.

Berikut ini adalah tabel alasan konsumen mengkonsumsi makanan kaki lima

Tabel 1: Alasan Menkonsumsi Makanan Kaki Lima
Alasan Menkonsumsi Makanan Kaki Lima (jawaban ganda)
Persen
Gampang tersedia 72%
Terjangkau 86%
Enak 60%
Kebersihan tempat 44%
Tidak sempat menyiapkan makanan di rumah 16%
Lainnya 2%


Harapan Konsumen

Sebagai pemenuhan kebutuhan dasar konsumen akan makanan yang sehat dan bergizi, maka tentu konsumen berharap bahwa makanan yang disajikan jauh dari tempat sampah, atau got buangan air (harapan tertinggi, yaitu 66%), kemudian juga tempat berjualan yang bersih (36%) dan tempat penanganan makanan yang terletak di meja (12%). Selain itu konsumen juga berharap bahwa penjual makanan kaki lima juga berpenampilan bersih dan rapi (92%) , dengan kuku yang pendek dan bersih (72%) serta tanpa perhiasan, dan memakai penutup rambut. Lainnya, konsumen juga berharap pedagang makanan ini tidak merokok.

Tabel 2: Harapan konsumen tentang kebersihan Makanan Kaki Lima
Kategori Persen
Tempat berjualan
Bersih 36%
Jauh dari tempat sampah 66%
Meja tinggi 12%
Penampilan penjual
Kuku tangan pendek dan bersih 72%
Pakaian bersih dan rapi 92%
Tanpa perhiasan 36%
Memakai penutup rambut 34%
Lainnya: tidak merokok 2%

Sedangkan pendapat konsumen tentang makanan kaki lima dapat dilihat bahwa mengenai kebersihan area konsumen menyatakan memuaskan (68%), begitu juga dengan kebersihan penjual (68%). Hanya 16% konsumen yang menyatakan bahwa area penjualan tidak memuaskan, dan 12% yang menyatakan kebersihan penjual tidak memuaskan.

Tentang keamanan makanan kaki lima, hanya 34% konsumen yang yakin akan keamanan makanan kaki lima, sisanya menjawab tergantung tempat berjualan. Hal ini menunjukkan bahwa makanan kaki lima tidak mempunyai konsistensi dalam masalah keamanan pangan, dan konsumen meninjau lokasi berjualan sebagai faktor yang sangat penting dalam masalah keamanan pangan ini, karena 58% konsumen menyatakan ‘tergantung tempat berjualan’.Sedangkan untuk mengidentifikasi keamanan makanan kaki lima, memang konsumen sangat mengandalkan inderanya, yaitu rasa, bau, warna/penampakan makanan, kemasan, termasuk kondisi makanan yang segar atau apakah makanan dihinggapi lalat atau tidak.

Tabel 3: Opini Konsumen tentang Makanan Kaki Lima
Persen
Keamanan Makanan Kaki Lima
Ya 34%
Tidak 2%
Tergantung tempat berjualan 58%
Tidak ada pendapat 6%
Cara mengidentifikasi Keamanan Makanan Kaki Lima
Rasa tidak enak 24%
Bau yang tidak enak 22%
Pewarna tidak alami 42%
Kemasan 12%
Lainnya; bahan yang segar, tidak dihinggapi lalat 12%

Kemudian hasil survei juga menunjukkan bahwa 80% konsumen menyatakan tidak pernah terkena penyakit akibat makanan jajanan, dan hanya 14% yang menyatakan pernah, sedangkan 6% tidak menjawab.

Tabel 4: Sakit karena Konsumsi Makanan Kaki Lima
Pernah sakit Persen
Ya 14%
Tidak 80%
Tidak menjawab 6%

Pada umumnya sakit yang diderita konsumen adalah sakit diare setelah mengkonsumsi street food ini.

Apakah Pemerintah membina Pedagang Kaki Lima?

Secara nasional, tidak terdapat peraturan khusus mengenai pembinaan pedagang makanan kaki lima berkaitan dengan hyginitas dan kualitas makanannya. Indonesia memang mempunyai Kementrian UKM dan Koperasi, tetapi fokusnya hanya pada pengembangan UKM skala produksi yang bersifat formal, bukan untuk makanan kaki lima yang sifatnya informal. Sementara Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) hanya memiliki peraturan mengenai Keamanan Pangan secara umum, tidak khusus menyangkut makanan kaki lima.

Idealnya dengan adanya otonomi daerah, pembinaan pedagang makanan kaki lima ini seharusnya menjadi beban pemerintah daerah. Tetapi skala Peraturan Daerah Jakarta juga tidak memuat pembinaan secara khusus kepada pedagang makanan kaki lima ini. Hanya ada peraturan mengenai pengalokasian makanan kaki lima, yaitu Perda tentang Ketertiban Umum no.11 tahun 1998 dan Perda mengenai Kebersihan di DKI Jakarta no.5 tahun 1998. Perda ini juga sebagai alat legitimasi penggusuran berbagai pedagang kaki lima yang dianggap mengganggu ketertiban umum dan kebersihan kota.

Padahal dari hasil survey dapat diketahui bahwa makanan kaki lima telah menjadi kebutuhan konsumen yang tidak dapat diabaikan. Sementara dari sisi pedagangnya sendiri, berjualan makanan kaki lima merupakan pilihan yang menarik, karena tidak membutuhkan modal besar, keahlian khusus, tetapi keuntungan yang diraih dapat menghidupi keluarga. Berdagang makanan kaki lima dapat menjadi alternative pekerjaan di negara semacam Indonesia, dimana tingkat pengangguran masih sangat tinggi.

Untuk mengatasi hal ini maka beberapa saran yang dapat disampaikan antara lain adalah advokasi peraturan daerah (Perda) mengenai pembinaan dan penempatan pedagang makanan kaki lima. Kemudian pedagang makanan kaki lima ini perlu dilegalkan, sehingga tidak terdapat kata-kata ‘informal’ yang hanya menjadi sasaran penggusuran. Dengan pelegalan pedagang kaki lima, maka pembinaan akan lebih mudah dilakukan.

Selain pelegalan, pedagang makanan kaki lima juga perlu membentuk asosiasi, sehingga pedagang makanan kaki lima dapat mengembangkan usahanya baik secara kualitas maupun permodalan. Bentuk asosiasi juga memudahkan pembinaan kepada pedagang yang demikian tersebar. Selain itu, pemerintah juga dapat menyediakan tempat dan fasilitas. Masalah ini juga cukup krusial, karena pedagang makanan kaki lima di Jakarta terlihat semrawut. Padahal jika sudah terbentuk sentra, pemerintah daerah dapat menyediakan kran air untuk mencuci peralatan, tempat pembuangan limbah/sampah dan hasil cucian, serta fasilitas tempat yang bisa terlihat hygiene dengan atap dan lantai semen/ tegel yang bersih. Dari observasi lapangan memang terlihat bahwa sebagian besar tempat berjualan makanan kaki lima ini berlantai tanah/trotoar, yang becek jika hujan sehingga terlihat kotor dan tidak hygiene.


- Ilyani Sudardjat –

Tidak ada komentar: