Jumat, 22 Agustus 2008

Promosikan Pangan Lokal


Kedaulatan pangan sangat sejalan dengan konsep value for people, apalagi untuk konteks Indonesia yang sebagian masyarakatnya masih berjuang mendapatkan basic needs. Dari segi perlindungan konsumen, kedaulatan pangan berarti aksesibilitas, ketersediaan dan keterjangkauan pada sumberdaya, terutama sumberdaya esensial (basic needs) yang menjamin keberlanjutannya. Dalam mengakses sumberdaya tersebut lepas dari kepentingan komersial, kepentingan politik ataupun ketergantungan pada pihak tertentu dan percaya pada kekuatan konsumen dan potensi-potensi lokal.

YLKI mempromosikan pangan lokal, terutama yang berpotensi menggantikan beras dan pangan kemasan, memperjuangkan agar konsumen diberikan pilih dan informasi yang berimbang agar dapat membuat informed choice sesuai kebutuhan dan kemampuannya, melakukan berbagai studi mengenai hutang dan privatisasi sektor-sektor esensial yang semakin memiskinkan. Misalnya, YLKI melakukan uji perbandingan untuk menunjukkan potensi biaya yang terkandung dalam pangan kemasan, pangan transgenik dan makanan sepat saji. Pada saat bersamaan YLKI juga mendorong agar pangan jajanan anak sekolah (biasanya pangan lokal) dan pelaku uasahanya yang biasanya dari kelompok usaha kecil dan informal dapat menyediakan pangan sehat dan bermutu. Program pemberdayaan masyarakat bertujuan memperkuat posisi konsumen dan memberi bekal keterampilan untuk berhadapan dengan produk dan pelaku usaha di pasar.

Kepada pihak pemerintah dan pelaku usaha YLKI memperjuangkan agar orientasi jangka panjang (kedaulatan pangan) didahulukan daripada keuntungan jangka pendek. Untuk itu YLKI selalu menuntut agar mereka memiliki akuntabilitas publik serta tanggung jawab sosial kepada stakeholdernya yang paling besar, yaitu konsumen. Instrumennya yaitu melalui peraturan perundang-undangan yang bervisi kedaulatan pangan, dan infrastruktur (misalnya adanya mekanisme pengaduan) serta kepastian bahwa setiap kerugian yang menimpa konsumen harus dikompensasi.

Namun, tentu saja itu tidak mudah. Peraturan perundang-undangan tidak berpihak kepada konsumen, sementara aparat hukum dan pemerintah tidak memahami tujuan perlindungan konsumen. Pelaku usaha masih berorientasi pada profit, tidak beretika dalam bertransaksi dan praktek penjualannya. Mereka merasa cukup bila sudah menerapkan standar, itupun tanpa pengawasan yang memadai dari pemerintah. Melalui iklan, pelaku usaha (besar) menciptakan demand dan addict terhadap produk-produk junk (sampah) tanpa menyadari potensi terciptanya generasi otak kosong dan malnutrisi. Demand konsumen digenjot melalui iklan besar-besaran yang menawarkan gaya hidup modern. Survei YLKI menunjukkan bahwa 33% keputusan membeli ditentukan oleh iklan. Mereka juga dengan cerdik menembak anak-anak sebagai target marketing mereka. Nyatanya, 58% keputusan membeli adalah karena permintaan anak. Sayangnya dalam iklannya media tidak berniat membatu konsumen dalam mencagah dampak buruk dari pola konsumsi yang buruk, misalnya menayangkan keharusan sikat gigi setelah mengkonsumsi makanan dengan kadar gula tinggi.

Konsumen sendiri pada umumnya nerimo dengan segala pelanggaran atas hak-haknya dan tidak berdaya menghadapi tekanan lingkungan sosial sangat besar. Arus globalisasi telah menciptakan mitos-mitos menyesatkan. Diantaranya adalah bahwa status/gengsi akan meningkat bila mengkonsumsi produk bermerek asing atau terkesan asing atau yang superficial. Mitos yang paling berbahaya yang berpotensi menghambat kedaulatan pangan adalah nilai sosial beras yang sudah terlanjur dinilai tinggi dibandingkan makanan pokok lain. Gaya hidup konsumtif ternyata difasilitasi oleh Peraturan daerah pun memberi banyak kemudahan untuk mendirikan supermall, hypermarket dan minimarket yang terbukti menggusur pasar tradisional. Tujuannya untuk mendekatkan konsumen dengan produk tersebut, baik secara geografis maupun psikologis, dan menciptakan ketergantungan..

Untuk mewujudkan kedaulatan pangan, ada tiga hal yang harus dilakukan, yaitu pendidikan konsumen, penegakan hukum dan mendorong etika. Konsepnya tetap mengedepankan aksesibilitas dan keterjangkauan.

Pendidikan konsumen dalam bentuk training for trainer pada kelompok-kelompok konsumen yang sudah ada (mahasiswa, ibu-ibu, dll), dengan harapan informasi dapat ditularkan ke anggota kelompoknya. Penegakan hukum ditujukan untuk meyakinkan bahwa kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalam sektor apa pun memuat visi konsumsi berkelanjutan. YLKI memperkenalkan praktek-praktek beretika untuk menciptakan harmoni dan keseimbangan antara ketiga pelaku usaha: pemerintah-swasta-masyarakat. Pemerintah didorong untuk memiliki pembelaan terhadap kelompok yang paling marginal, diluar hukum positif yang bias kepentingan. Pelaku usaha diharapkan mempertimbangkan keamanan dan keadilan, lebih dari sekedar profit. YLKI berupaya membangun solidaritas konsumen karena dengan bersatu kekuatan akan menjadi lebih besar.

Untuk gerakan sosial bersama-sama YLKI mengusulkan agar persoalan kedaulatan pangan dipetakan secara lintas sektor, dengan demikian akan tergambar dengan jelas ‘who does what’-nya.

Dari sektor konsumen beberapa usulan adalah, pertama, lesson learned from the neighbour, mencontoh keberhasilan Mali dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Identifikasi faktor yang menentukan keberhasilan dengan mempertimbangkan kesamaan dan perbedaan yang terjadi pada dua negara tersebut, dan kedua mengawinkan antara konsep perlindungan konsumen dengan koperasi sehingga tercipta perekonomian kerakyatan yang benar-benar dapat mensejahterakan anggotanya.

Indah Suksmaningsih, Pengurus Harian YLKI

Tidak ada komentar: