Jumat, 22 Agustus 2008

Episode Matinya "Republik Tempe"

Janganlah kalian menjadi bangsa tempe, demikian pesan sang Proklamator kita, Bung Karno. Pesan itu bukan berarti bangsa Indonesia dilarang makan tempe, tetapi suatu dorongan agar kita tidak menjadi bangsa yang rendah diri, lembek dan diremehkan bangsa lain. Jadilah bangsa yang mandiri, begitu filosofinya.

Tetapi, secara sosial, ekonomi, kultural bahkan politik, yang terjadi malah sebaliknya. Sebagai bangsa, kini kita dijungkirbalikkan oleh tempe. Tempe menghilang, dan kita pun bertiwikrama menjadi "bangsa tempe". Pasalnya, tak mandiri dan memuja bangsa lain, kendati hanya urusan tempe. Ya, selain alat-alat perang, bangsa ini harus berkiblat ke bangsa Amerika hanya untuk urusan kedelai/tempe. Pada titik inilah tingkat kerapuhan bangsa Indonesia makin terkuak, betapa sumber bahan pangan untuk memasok perut wong Indonesia, masih bergantung pada luar negeri, khususnya Australia dan Amerika. Bukan hanya kedelai, tapi juga susu bubuk, gandum, daging sapi, sampai garam dapur pun masih impor. Bahkan, gandum 100 persen dipasok oleh Australia. Ironisnya, ketika tak satu pun tanaman gandum tumbuh di tanah air ini, Indonesia justru menyandang gelar sebagai produsen mi instan terbesar di dunia dengan 12,4 milyar bungkus per tahun (2005).

Gonjang-ganjing harga kedelai/tempe, dan juga bahan pangan lain tidak bisa diteropong dengan picingan mata sebelah. Bukan saja masyarakat konsumen akan mengurangi, mengganti atau bahkan meninggalkan tempe sebagai sahabat kala bersantap tiba.Lebih dari itu, gejolak harga tempe dan bahan pangan lain, secara sistematis mempunyai dampak ikutan, berupa:

Pertama, menciptakan proses pemiskinan masyarakat. Di Jatinegara, Jakarta Timur, seorang ibu rumah tangga terpaksa menggadaikan sebuah seprei hanya untuk menambal kebutuhan dapur, agar tetap ngebul. Finansial masyarakat tergerus hanya untuk mengganjal perut agar tidak kelaparan. Mengingat, kini bukan hanya tempe yang harganya tak terkendali; telur, terigu, minyak goreng, susu bubuk, bahkan beras, sudah lama mendahului. Harga telur yang semula hanya Rp 6.000/kg, kini mencapai Rp 11.000/kg. Minyak goreng curah yang tadinya Rp 4.000, kini menembus angka Rp 11.000/kg. Juga susu bubuk, rata-rata harganya di atas Rp 20.000 untuk ukuran 400 g. Akibatnya urusan strategis lain akan tergilas, khususnya untuk sektor kesehatan dan pendidikan. Klimaks atas ini semua adalah merosotnya indeks pembangunan sumber daya manusia (Human Development Index/HDI) versi United Nation for Development Program (UNDP), yang saat ini kalah dengan Vietnam.

Kedua, menurunnya kualitas gizi masyarakat, khususnya fenomena merebaknya gizi buruk/busung lapar pada balita. Jangan sepelekan tempe, sekalipun harganya (dulu) murah, seiris tempe mengandungi kalori dan protein yang amat tinggi. Kalau tempe saja tak terbeli, mau mengakses menu apalagi; telur, ikan, daging ayam, atau daging sapi, mana mampu? Salah satu pemicu utama terjadinya gizi buruk/busung lapar pada balita, selain kekurangan asupan karbohidrat, juga kekurangan asupan protein. Padahal, menurut ilmu gizi, cukup satu butir telur dalam satu minggu mampu membebaskan sang balita dari serangan gizi buruk/busung lapar.

Lebih dari itu, yang ketiga, secara politis ketergantungan sumber pangan pada negara lain amat berbahaya. Selain bisa dijadikan instrumen politik untuk mendikte kebijakan publik, juga potensi terjadinya krisis pangan akan makin lebar. Harga kedelai melonjak, sebab Amerika tidak berminat menanam kedelai lagi, tapi menanam jagung, sebagai bahan campuran bahan bakar nabati.Dalam kasus mi instan, kenaikan harga dipicu oleh menurunnya produksi gandum di Australia karena faktor iklim, yaitu kekeringan. Betapa ironisnya, yang menderita gagal panen petani Australia, yang kebat-kebit kok masyarakat Indonesia. Boleh saja Presiden Yudghyono mengklaim bahwa ancaman krisis pangan bukan masalah Indonesia saja, tetapi juga gejala dunia. Tetapi seharusnya hal ini tidak terjadi, kalau kita mempunyai kemandirian bahan pangan untuk keperluan dalam negeri. Jargon gemah ripah loh jinawi bagi negeri ini tampaknya hanya mitos.

Jika dilandasi oleh kemauan politik yang kuat, tidak terlalu sulit untuk mengakhiri ketergantungan ini. Namun, tidak cukup hanya mengenakan instrumen 10 persen pajak impor/ekspor, yang terbukti tidak cukup ampuh untuk melawan gejolak harga. Jalan keluar yang paling ideal, selain menggusur para cukong nakal yang gemar mendistorsi pasar, adalah mengubah ketergantungan menjadi kemandirian (swasembada). Untuk mengejawantahkan itu, Pemerintah jangan cuma menghimbau dan menyediakan lahan bagi petani untuk menanam kedelai, dan tanaman pangan lain. Kalau para petani di Amerika, Jepang dan negera maju lain masih disuntik dengan subsidi, kenapa Pemerintah Indonesia bergeming? Seiring dengan kesepakatan era perdagangan bebas, maka berbagai produk pangan dengan harga murah akan membanjiri pasar dalam negeri. Produk-produk pangan, termasuk buah-buahan dijual murah karena komponen subsidinya sangat tinggi. Masyarakat konsumen tentunya akan memilih harga yang lebih murah, tanpa sedikitpun mempertimbangkan aspek nasionalisme. Sementara nasib petani kita, boro-boro mendapatkan subsidi, mendapatkan pupuk saja sulit karena sering menghilang di pasaran. Jika pun tersedia, harganya melangit. Belum kalau panen raya tiba, harga jualnya terjun bebas.

Jika Pemerintah begitu royal dalam menggelontorkan subsidi kepada para pemilik dan pengguna kendaraan pribadi, mengapa kepada para petani dan pengrajin tempe terlihat ogah-ogahan? Bayangkan, kepada pemilik/pengguna kendaraan pribadi Pemerintah menyuntik subsidi BBM Rp 2.000 per liter, atau tidak kurang dari Rp 90 trilyun per tahun. Sementara manfaat yang dipetik dari Rp 90 trilyun ini hanyalah pemborosan bahan bakar, polusi, kemacetan yang terus menggurita, dan tingginya korban kecelakaan lalu lintas, per tahun mencapai 30 ribu jiwa.

Ketika negara (Pemerintah) membiarkan harga tempe dan bahan pangan lain terus melangit, dan akhirnya tak bisa diakses oleh mayoritas masyarakat konsumen, sama artinya Pemerintah membuka "kran baru" terjadinya kemiskinan. Negara bukan saja gagal merepresentasikan dirinya sebagai welfare state, bahkan melakukan tindakan state violence kepada warganya secara telanjang dan masif. Idealnya, sebagai seorang doktor pertanian, seharusnya Presiden Yudhoyono mempunyai kapasitas untuk mengelaborasi dan mengejawantahkan kebijakan pertanian yang mandiri dan berkesinambungan, untuk kesejahteraan warganya. Bukan malah menciptakan kemiskinan baru.


Tulus Abadi








Tidak ada komentar: