Jumat, 22 Agustus 2008

Perilaku Konsumen HIjau

Seorang teman pernah berkata betapa muskilnya kita untuk menjadi konsumen hijau ditengah situasi seperti ini. Krisis moneter menyebabkan sebagian besar masyarakat Indonesia terpuruk tingkat ekonominya. Perhitungan konsumsi yang paling tepat adalah dengan membeli barang semurah mungkin. Sedangkan industri-industri yang memang telah kebablasan masalah limbahnya, semakin enggan untuk mengelola perusahaan agar sesuai dengan standar baku mutu lingkungan, karena butuh biaya.

Memang sulit. Alih-alih ingin menjadi konsumen hijau, tanpa kita sadari tingkat konsumsi kita bisa jadi tinggi terhadap produk yang mencemarkan lingkungan. Karena selain pilihan yang langka, keinginan membeli yang dipengaruhi berbagai kekuatan memang jauh lebih besar. Memang kenyataan bahwa pola konsumsi masyarakat saat ini sama sekali tidak mempunyai kekuatan untuk memperbaiki masalah lingkungan. Konsumen hijau hanyalah idealis-utopis, karena perilaku konsumen sangat lemah dalam menghadapi kekuatan produsen yang menyediakan ragam produk. Dasar produktivitas industri yang mengatakan bahwa kebutuhan dapat diciptakan jika selalu tersedia dan diiklankan dengan sangat menarik telah terbukti dengan tingkat konsumsi yang tinggi terhadap produk terkait. Ideologi kapitalisme dengan kekuatan modalnya memang telah mencengkeram masyarakat dalam arus materialisme.

Perilaku Konsumen vs Konsumen Hijau
Konsumen hijau adalah konsumen yang dalam pola konsumsinya memperhatikan dampak konsumsi tersebut terhadap lingkungan. Istilah ini sering juga disebut dengan pola konsumsi yang berkelanjutan.

Beberapa teori mengenai perilaku konsumen dapat menjelaskan mengapa gerakan konsumen hijau semakin kurang keras gaungnya di Indonesia. Keputusan konsumen dalam membeli suatu produk dipengaruhi oleh empat hal mendasar, yaitu motif, kebutuhan, kepribadian dan kesadaran. Kesadaran merupakan perwujudan dari persepsi, kebiasaan dan pembelajaran manusia bersangkutan.

Sedangkan secara eksternal atau lingkungan, keputusan konsumen untuk membeli suatu produk adalah karena masalah harga, jarak yang mudah dijangkau, dan ketersediaan yang kontinyu. Atau menurut Philip Kotler, kesuksesan marketing suatu produk sangat ditentukan oleh 4P, yaitu Product (kualitas produk), Price (harga), Promotion (Promosi), dan Place (tempat). Dengan situasi seperti sekarang, dimana iklan sangat gencar ditanyangkan oleh media, maka konsumen lebih banyak di’stir’ oleh penawaran massal suatu produk.

Jadi jika digabung faktor motif, kebutuhan, kepribadian dan kesadaran manusia dalam berkonsumsi dengan faktor eksternal tadi, maka tingkatan ‘berkonsumsi’ bagi konsumen adalah dalam hal memenuhi kebutuhan (dasar, sekunder), untuk meningkatkan kualitas hidup (kenyamanan, keindahan, kesejahteraan), faktor sosial (gengsi, prestise), dan sebagai wujud aktualisasi diri, dimana kesadaran kemanusian telah berada pada ‘maqam’ tertinggi, yaitu kepedulian pada kelompok nirdaya dan lingkungan. Disini konsumen sadar benar apa dampak daya belinya terhadap orang lain. Konsumen secara kritis melihat ‘ada apa di balik suatu produk’, ‘siapa pelaku usaha produk ini’, apakah dengan membeli produk ini konsumen turut andil menyengsarakan orang lain? Ataukah mencemari lingkungan? Bagi konsumen ini, sense of humanity sangat kuat dalam pola berkonsumsinya.

Faktor Pendukung Konsumen Hijau
Dengan boomingnya isu global warming (pemanasan global), memang turut menggerakkan masyarakat untuk berupaya menjadi konsumen hijau. Dalam suatu acara ‘Oprah’ di televisi, terlihat bagaimana masyarakat mulai melakukan berbagai hal sederhana tetapi memiliki arti bagi lingkungan. Mulai dari memilih lampu yang hemat energi, memakai kertas daur ulang, memakai mobil yang semakin irit, dan berpartisipasi dalam menanam pohon. Hal ini terasa gaungnya di dunia, termasuk di Indonesia, dimana para pejabat pun sibuk menanam pohon. Sekarang trend untuk memiliki produk yang ramah lingkungan juga mulai menyasar perumahan, dimana desain perumahan diharapkan memiliki sirkulasi udara yang baik, sejuk, nyaman, sehingga penghuninya tidak perlu memakai pendingin ruangan.

Kemudian, salah satu kampanye yang sedang digerakkan adalah kampanye anti pemakaian plastik sebagai kantong belanja. Bayangkan berapa juta kantong plastik beredar setiap hari dan dibuang konsumen setelah belanja. Walaupun di Indonesia para pemulung cukup efektif mendaur ulang sampah plastik (dari penelitian ITB reduksi sampah oleh pemulung mencapai 60%), tetapi dikhawatirkan hasil daur ulang ini merupakan plastik yang semakin berbahaya bagi lingkungan. Beberapa kampanye ini mulai diterapkan oleh suatu retail modern hypermarket yang menghimbau konsumennya untuk membeli kantong yang dapat dipakai berkali kali (hingga 6 bulan), tetapi sayang, yang dipromosikan oleh retail tersebut bukanlah kantong kain tetapi tetap kantong plastik (dan konsumen harus membeli Rp 2000).

Selain itu, faktor pendukung konsumen hijau tentu bukan hanya dari sisi ‘demand side’ (permintaan) saja. Tetapi juga harus ada kebijakan pemerintah mengenai ekolabel, dan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang memasukkan unsur ramah lingkungan sebagai salah satu parameter standar. Dengan adanya SNI Wajib ini, maka daya dorong menciptakan produk ramah lingkungan sudah menjadi tuntutan hukum. Begitu juga dengan adanya ekolabel yang kredibel. Karena ekolabel merupakan salah satu cara pertama konsumen terinformasi apakah suatu produk ramah lingkungan atau tidak.

Ilyani Sudardjat

Tidak ada komentar: