Jumat, 22 Agustus 2008

Menyoal Politik Pengelolaan Jalan

Pencanangan 2008 sebagai tahun kunjungan ke Indonesia, Visit Indonesia Year 2008, tampaknya hanya menjadi mimpi belaka. Turis asing bukannya berduyun-duyun menyambangi Indonesia, sebaliknya mereka beramai-ramai meninggalkan negeri ini.
Bagaimana akan at home di Indonesia jika kualitas public services yang disodorkan begitu kedodoran. Mulai pemalakan oleh oknum petugas imigrasi di bandara, dirampok sopir taksi, aliran listrik byarpet, plus kondisi infrastruktur jalan yang rusak jelas membuat turis patah arang mengunjungi negeri khatulistiwa ini.
Terkait dengan kerusakan jalan yang kini melanda hampir di semua wilayah Indonesia, khususnya di Jakarta, lagi-lagi tingginya curah hujan (faktor cuaca) menjadi tersangka utama.
Seperti di Jakarta, menurut Dinas Pekerjaan Umum, kini tidak kurang dari 100 ribu meter persegi kondisi jalan rusak berat. Padahal dampak jalan yang rusak bukan saja menyebabkan pergerakan aktivitas ekonomi terhambat, melainkan juga polusi udara yang kian parah dan kecelakaan lalu lintas.
Terbukti, akibat jalan berlubang-lubang, menurut data traffic management Polda Metro Jaya, selama Januari--Maret 2008, tidak kurang dari 35 nyawa telah melayang. Belum lagi di provinsi lain di Indonesia.
Jumlah korban semacam itu hanyalah cermin kecil atas akumulasi kecelakaan yang ditimbulkan buruknya kondisi jalan yang secara nasional mencapai 3% dari total korban tewas dalam kecelakaan lalu lintas, yaitu 30 ribu jiwa per tahun. Artinya, ada 3.000 nyawa melayang per tahun akibat kondisi jalan rusak.
Dengan konfigurasi semacam itu, layakkah kondisi cuaca selalu kita jadikan tersangka (tunggal) atas kerusakan jalan di Tanah Air? Atau sebaliknya, ada faktor lain yang lebih krusial, misalnya bagaimana politik pengelolaan jalan yang dilakukan pemerintah?
Benar, hujan yang deras berkontribusi terhadap rusaknya jalan. Namun, jika ditelisik lebih mendalam, hujan deras bahkan banjir bandang hanyalah pemicu temporal.
Jalan Rusak Dibiarkan
Sementara itu, pemicu besar dan bersifat permanen, antara lain pertama, tidak optimalnya fungsi jembatan timbang. Secara empiris, fungsi jembatan timbang hanya formalitas belaka yang ditandai dengan fenomena "salam tempel" antara oknum petugas jembatan timbang dan oknum pengusaha/sopir angkutan barang (truk). Kini hampir semua pemerintah daerah di Indonesia memosisikan jembatan timbang sebagai sarana untuk mengeruk PAD (pendapatan asli daerah).
Wah, ini jelas kebelinger!
Kedua, politik anggaran yang tidak jelas. Pemerintah sering menggunakan alasan klasik bahwa jalan yang rusak belum bisa diperbaiki karena dana ABPN/ABPD belum dicairkan. Itu logika yang amat bodoh. Seharusnya, pemerintah mempunyai terobosan birokrasi untuk pengelolaan anggaran untuk perbaikan dan pemeliharaan jalan.
Namun, patut diduga proses pembiaran kerusakan itu terkait dengan mental "cari proyek". Kondisi jalan dibiarkan makin rusak, tujuannya adalah agar kerusakan itu bisa diproyekkan dengan kucuran dana yang lebih besar. Makin luas kerusakannya, makin besar pula dana proyek yang diperoleh. Kantong pejabat birokrasi pun makin tebal. Begitukah?
Ketiga, kebijakan manajemen transportasi yang secara dominan berpihak kepada penggunaan kendaraan pribadi sebagai sarana mobilitas utama. Tingginya pertumbuhan kepemilikan dan penggunaan kendaraan bermotor pribadi sebagai sarana mobilitas ini, khususnya di kota-kota besar, jelas mempercepat kerusakan jalan.
Sebaliknya, jika pemerintah memfokuskan pada perbaikan sarana transportasi publik, kerusakan jalan bisa diminimalisasi signifikan. Apalagi jika transportasi publik yang dikembangkan berbasiskan rel (kereta api). Tetapi apa lacur, jika nasib transportasi publik yang berbasiskan rel yang sudah ada pun makin terpinggirkan, sekalipun untuk kereta api antarkota semacam Parahyangan jurusan Jakarta--Bandung.
Jadi, perbaikan jalan yang rusak tidak bisa sekadar menggunakan pola tambal sulam, apalagi jika motif ekonomi (baca: diproyekkan) menjadi sebuah paradigma. Artinya, perbaikan semacam itu hanya akan melanggengkan permasalahan dan tidak akan pernah menyelesaikan persoalan secara tuntas.
Jembatan Timbang
Pemerintah harus menerobos dengan perbaikan jalan dengan kebijakan yang lebih komprehensif dan menusuk ke jantung persoalan. Misalnya, terkait dengan jembatan timbang, pemerintah harus kembali mengoptimalkan fungsi jembatan timbang. Jembatan timbang yang kini hanya formalitas (fenomena "salam tempel") dan tambang uang untuk PAD harus disingkirkan.
Terobosan direktur Direktorat Jenderal Perhubungan Darat dengan uji coba swastanisasi jembatan timbang di beberapa daerah di Sumatera tampaknya layak dikembangbiakkan di daerah lain, khususnya di Jawa. Terbukti jembatan timbang yang dikelola birokrasi praktis hanya sebagai sarang kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Terkait dengan pola pembiayaan pemeliharaan jalan jika merujuk ke luar negeri, lazim diterapkan mekanisme yang bernama road fund (dana jalan). Dana itu dikumpulkan dari pengguna kendaraan pribadi yang melintasi jalan-jalan utama. Filosofi pengumpulan road fund ini adalah pengguna kendaraan pribadi telah berkontribusi terhadap kerusakan jalan dan bahkan kemacetan lalu lintas.
Oleh sebab itu, mereka patut diberikan disinsentif (hukuman) berupa road fund tadi. Dengan demikian, jika terjadi kerusakan jalan, pemerintah tidak perlu berpusing-pusing ria dengan minimnya anggaran di APBN/APBD.
Jangan lupa, kerusakan jalan terus meluas jika pemerintah tidak memperbaiki manajemen transportasi secara komprehensif dan radikal. Salah satunya adalah menjadikan sarana transportasi publik (mass rapid transportation), utamanya yang berbasiskan rel sebagai tulang punggung mobilitas warga. Tanpa itu, volume pertumbuhan kendaraan pribadi yang tidak terkendali dan menggurita, seperti kini, hanya menjadi instrumen paling ampuh menghancurkan jalan raya.

Tulus Abadi
Anggota Pengurus Harian YLKI

Tidak ada komentar: