Jumat, 22 Agustus 2008

ASEAN Harmonisasi di Bidang Kosmetik (AHCRS): Dampak terhadap konsumen


Efektif mulai Januari 2008, di wilayah ASEAN diberlakukan harmonisasi penilaian kesesuaian dan regulasi teknis kosmetik yang dikenal dengan AHCRS (ASEAN Harmonized Cosmetics Regulatory Scheme). Pemerintah Indonesia menerapkan harmonisasi ASEAN tersebut melalui mekanisme ACD (ASEAN Cosmetic Directives) yaitu peraturan teknis yang diharmonisasi. Peraturan ini terdiri dari daftar kategori kosmetik, daftar bahan kosmetik, CPKB (pedoman Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik) versi ASEAN, persyaratan penandaan kosmetik, dan pedoman klaim kosmetik.

Dengan adanya harmonisasi ini, akan ada perbedaan yang mendasar dalam konsep pengawasannya. Setelah pemberlakuan hamonisasi, pengawasan dilakukan setelah produk beredar di pasaran. Sementara sebelumnya, pengawasan dilakukan sebelum diedarkan, dan berlaku untuk semua produk baik lokal maupun impor. Paradigmanya berubah dari sistem pendaftaran menjadi sistem notifikasi atau pemberitahuan. Kemudian, tanggungjawab diberikan sepenuhnya kepada pelaku usaha atau industri, dengan melakukan self declaration kepada BPOM, yang menyatakan bahwa kosmetik tersebut mutu, kemanan dan manfaatnya telah memenuhi ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Masalahnya, penerapan AHCRS ini mengubah instrumen perlindungan konsumen, dari preventif ke kuratif. Berarti konsumen tidak terlindungi dari ancaman gangguan kesehatan akibat penggunaan kosmetik yang tidak benar. Padahal, selama ini kosmetik palsu atau ilegal sudah marak di pasaran dan dibuktikan dengan berulang kali dikeluarkannya public warning daftar kosmetik berbahaya dari BPOM. Sebagaimana hasil pengujian YLKI (1999) terhadap kosmetik pemutih kulit juga menunjukkan adanya kandungan mercury yang seharusnya tidak ada sebab telah melalui tahap pengawasan sebelum beredar. Hal ini menunjukkan hak-hak konsumen kosmetik memang sungguh terabaikan dan konsumen tidak berdaya menghadapi masuknya pasar bebas perdagangan kosmetik.

Dalam diskusi panel yang diselenggarakan YLKI bekerjasama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan DKI untuk menyikapi diberlakukannya Harmonisasi ASEAN di Bidang Kosmetik, kekhawatiran terancamnya perlindungan konsumenpun dikemukakan. Diskusi ini dihadiri oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Dinas Kesehatan DKI, Perkosmi, Perdoski, Subdit Perdagangan APEC Departemen Perdagangan, Balai Besar POM DKI, Suara Ibu Peduli, Mahasiswa FKM UI dan ISMAFARSI.

Pemerintah dan Pelaku Usaha

Menurut Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi DKI Jakarta, harmonisasi ASEAN yang ditetapkan tahun 2008, merupakan tantangan untuk meningkatkan kualitas produk dan manajemen bagi produsen kosmetik dalam negeri, khususnya golongan UKM. Bagaimanapun, UKM harus siap menerima sistem ini dengan menerapkan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik (CPKB) yang telah disepakati dalam harmonisasi ASEAN.
Subdit Perdagangan APEC Departemen Perdagangan, menyebutkan bahwa beberapa negara anggota memang belum siap mengimplementasikan AHRCS mengingat kurangnya infrastruktur teknis dan Sumber Daya Manusia. Serta masih adanya beberapa perbedaan aspek teknis yang terkait dengan AHRCS di antara negara anggota.

Seperti diketahui yang mampu melakukan AHCRS kemungkinan hanyalah produsen besar karena biayanya sangat mahal. Selain itu, , disamping mereka memiliki perangkat pengujian kualitas. Jadi bagaimana dengan UKM? Mampukah menerapkan AHCRS dengan tetap menekan harga jual produksinya agar terjangkau konsumen bawah?

BPOM merasakan adanya hal-hal teknis yang berkembang cepat sehingga perlu dibahas bersama Departemen Perdagangan dan PERKOSMI untuk segera dibuat payung hukumnya. Salah satunya pemerintah harus menyiapkan sistem dan infrastruktur yg lebih baik agar industri UKM tidak tereliminiasi, serta menyiapkan inspektor dan auditor post market. Dinas Perindustrian dan Perdagangan DKI mengeluhkan bahwa pelatihan terhadap UKM kurang memadai, sehingga perlu upaya bersama dari pemerintah, dan asosiasi untuk membina UKM agar mampu melakukan pembuatan kosmetik yang baik.

Langkah-langkah BPOM dalam pengawasan kosmetik di era harmonisasi ASEAN adalah pengawasan di entry point untuk mencegah barang ilegal, dan penegakan hukum secara konsisten terhadap pelaku usaha yang melanggar. BPOM bekerja sama dengan Bea Cukai, Kejaksaan dan Kehakiman serta aparatur negara. Kemudian membuat data base lokal seperti SIPKos (Sistem Informasi Pengawasan Kosmetik), dan SISOTKOS (Sistem Informasi Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Makanan) agar mudah diakses dari daerah-daerah. Inspektor dari BPOM akan langsung memberikan sangsi karena sudah memiliki kartu PPNS dari Departemen Kehakiman. Langkah lain BPOM di era harmonisasi ASEAN ini adalah menerapkan gambar pemakaian masker dan poster untuk penggunakan kosmetik berbahaya.

PERKOSMI menyatakan bahwa target utama produsen kosmetik dalam harmonisasi ASEAN adalah memberikan jaminan perlindungan konsumen. Konon sistem notifkasi sangat menguntungkan produsen, karena bebas memasukkan produksinya ke negara-negara lain, yang selama ini diganjal peraturan setempat. Konsekuesinya AHCRS akan menerapkan sistem dan sanksi yang jauh lebih ketat bagi pelanggaran-pelanggaran kesepakatan seperti memalsukan isi produk atau menambahkan bahan baku yang tidak biasa dipakai pada kosmetik. Setiap produk yg diedarkan di Indonesia wajib mencantumkan label dalam bahasa Indonesia yang kebenarannya berdasarkan bukti-bukti sesuai aturan main. Pelaku usaha besar juga harus bisa membangkitkan UKM–UKM agar mampu melakukan CPKB.


Masalah Konsumen

UU Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa ”Dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang yang tidak memenuhi atau tidak sesuai standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan” (Pasal 8 ayat 1 a). Adanya Standarisasi merupakan salah satu cara pengawasan preventif namun mempunyai makna yuridis yang harus ditaati oleh semua produsen. Karena itu standar resmi yang ditetapkan mengikat dan harus dipatuhi oleh setiap produsen dan setiap penyimpangan terhadapnya merupakan bahaya langsung yang mengancam keselamatan dan kesehatan konsumen. Tetapi faktanya hal–hal yg menyangkut standarisasi banyak diabaikan oleh produsen dan masih banyak pelaku usaha yang mengalahkan hal-hal yg bersifat etis seperti pelayanan konsumen, kejujuran berdagang, pengawasan mutu dsbnya.

Bagaimana menerapkan sistem recall produk yang terbukti berbahaya dari pasar? Selama ini, penarikan produk membutuhkan waktu panjang dengan alasan Indonesia sangat luas. Apakah ada keseragaman secara internasional tentang bagaimana cara menarik produk berbahaya di pasaran?.

Sulit menerapkan hak-hak konsumen akan informasi yang benar sesuai UU Perlindungan Konsumen karena ketidaktahuan dan pembuktian yang harus melalui uji laboratorium atau klinis serta kesadaran untuk memperjuangkan hak-haknya. Keinginan untuk memakai kosmetik sesuai mode tidak didukung dengan daya beli yang cukup, sehingga mudah menjadi korban pemalsuan. Parahnya konsumen sangat terpengaruh oleh iklan televisi yang sulit dijerat hukum karena hanya berdasarkan persepsi.

Untuk itu, pengamanan apa yang dilakukan pemerintah, serta pihak-pihak yang terkait dengan industri kosmetik, agar lebih berpihak kepada perlindungan konsumen. Masalahnya, konsumen Indonesia yang relatif kurang mengerti akan mudah menjadi korban karena jaminan mutu sangat tergantung dari kejujuran atau hati nurani pelaku usaha. Haruskah menjadi korban dulu baru ada tindakan???


Ida Marlinda

Tidak ada komentar: