Selasa, 26 Agustus 2008

Konversi Minyak Tanah, Buah Simalakama


Ketika Pemerintah memutuskan untuk mengkonversi minyak tanah ke bahan bakar gas dalam bentuk Liquefied Petroleum Gas (LPG/elpiji), hal ini bisa dianggap sebagai terobosan penting dalam mengatasi ‘absurdnya’ pengembangan dan pemanfaatan energi, sekaligus mengurangi tekanan terhadap RAPBN. Gagasan konversi sangat ideal diharapkan berkelanjutan dengan intensitas sosialisasi yang harus ditingkatkan. Program ini perlu pendekatan kepada kelompok masyarakat yang menjadi target dan yang paling penting adalah menghilangkan kesan pemaksaan.

Konversi diharapkan dapat memangkas subsidi minyak tanah dari Rp 35 trilyun menjadi Rp 17.5 trilyun atau setara 50% pada 2008. Regulasi pemerintah mencanangkan konversi penggunaan sekitar 5,2 kilo liter minyak tanah kepada penggunaan 3,5 juta ton elpiji hingga tahun 2010 mendatang yang dimulai dengan 1 juta kilo liter minyak tanah pada tahun 2007. (Detik.com 7/1/2007)

Dalam kebijakan konversi energi minyak tanah , berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Hendri Edianto (Direktur Riset Energi dan Manajemen Indonesia 2007) ternyata pemerintah mendapatkan keuntungan berupa pengurangan subsidi yang harus dikeluarkan seperti terlihat dalam tabel ini, dengan asumsi seluruh minyak tanah telah dikonversi dengan elpiji:
Perhitungan Pengurangan Subsidi Melalui Konversi Minyak Tanah ke LPG
Minyak Tanah LPG
Kesetaraan
Harga jual ke masyarakat
Pengalihan volume
Asumsi harga keekonomian
Harga jual
Besaran subsidi
Total subsidi
1 liter
2500/liter
10.000.000 kiloliter
5665/liter
2000/liter
3665/liter
36,65 trilyun
0,57 kg
4250/kg
5.746.095 MT
7127/kg
4250/kg
2877/kg
16,53 trilyun

(Hendri Edianto - www.isei.or.id)
Dari tabel tersebut didapat selisih subsidi Rp 36,65 trilyun – Rp16,53 trilyun = Rp 20,12 trilyun per tahun, yang akhirnya membuat pemerintah mengambil kebijakan konversi energi minyak tanah ke elpiji. Secara matematis, dari sisi masyarakat, penggunaan elpiji untuk mengganti minyak tanah akan menghemat biaya Rp 20 ribu sampai Rp 25 ribu per bulan angka ini dihitung dari kebutuhan rata-rata minyak tanah rumah tangga 20 liter perbulan yang mampu dikonversi oleh 2,5 tabung elpiji 3 kg. Artinya mesyarakat akan diuntungkan dengan adanya konversi mitan ke elpiji. Benarkah demikian?

Kendala dan Permasalahan Konversi

Tidak semua rencana bisa berjalan dengan mulus seperti membalik telapak tangan, apalagi dalam era transisi demokrasi. Ada beberapa hal yang sebenarnya luput dari perhatian pemerintah dalam pelaksanaan konversi, yang berimbas kepada pengebirian hak masyarakat sebagai konsumen bahan bakar minyak (BBM).

Pertama, pengejawantahan konversi ini terasa mendadak dan tidak terencana secara komprehensif. Informasi yang diberikan pemerintah belum sepenuhnya bisa menyentuh kepada lapisan grass root, bahkan terkesan pemerintah “nggege mongso”. Dangkalnya informasi melahirkan berbagai masalah dalam pelaksanaanya yang datang silih berganti. Mulai dari ribut-ribut tender tabung gas dan kompornya, belum jelasnya sumber pendanaan dan besarnya subsidi yang harus dikucurkan yang mencapai ratusan milyar rupiah. Ketidaksiapan infrastruktur seperti stasiun pengisisan dan depot elpiji, hingga masih kaburnya kriteria pemilihan lokasi uji coba dan kelompok masyarakat penerima tabung dan kompor gas gratis. Keberhasilan program ini membutuhkan waktu, adaptasi dan toleransi. Berarti pengurangan atau bahkan penghentian pasokan minyak tanah ke konsumen kecil perlu dipertimbangkan lagi. Pada masa tenggang toleransi, perlu sosialisasi dan pemahaman intensif sehingga bisa mengadopsi program ini. Perlu dicatat bahwa tidak semua kelompok masyarakat kita dapat langsung beradaptasi dengan program konversi tersebut. Bukan karena menolak tapi lebih beralasan ekonomi. Banyak dari keluarga kecil yang setiap hari hanya mengalokasiakan beberapa rupiah untuk mendapatkan 1 atau bahkan ½ liter minyak tanah dalam sehari. Ketika program diperkenalkan mereka sudah khawatir tak mampu membeli sekaligus satu tabung elpiji paling kecil sekalipun (3 kg). Alasan seperti ini yang seharusnya ditanggapi oleh pelaksana program konversi

Kedua, Pemerintah tidak memperhatikan efek domino dari konversi minyak tanah dan pemangkasan subsidi bbm. Konsumen “kelas teri” (masyarakat miskin) yang terhimpit dan kesulitan secara ekonomi seperti nelayan di pesisir atau rakyat pengguna transportasi sungai, semisal, pesisir Jawa dan sebagian besar Kalimantan menuntut kreatifitas agar bisa sekedar bertahan hidup. Mahalnya solar untuk melaut telah memaksa nelayan dan pengguna transportasi air memodifikasi dan merekayasa ribuan mesin kapal serta perahu tempel agar tetap berjalan dan bisa dioplos dengan minyak tanah. Asumsi bahwa dengan dialihkannya subsidi bbm ke elpiji akan menyedot jumlah konsumen kepada penggunaan gas, tidak sepenuhnya terbukti. Secara global penggunaan dan permintaan bbm khususnya minyak tanah tidak berkurang, malah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Menurunnya pasokan minyak yang tidak diimbangi penurunan jumlah konsumen menumbuhkan budaya antri. Disinilah hukum demand and supply berlaku, eksesnya harga naik melampaui harga eceran tertinggi yang ditetapkan. Dengan konversi minyak tanah telah pula mengkonversi kenyamanan konsumen kepada antrian di hampir seluruh wilayah Indonesia dalam mendapatkan bbm. Hal ini diperparah dengan ulah para spekulan dan buruknya sistem distribusi pertamina. Siapa yang bisa menjamin pasokan bbm tepat kesasaran?

Ketiga, kaburnya koordinasi antar lembaga dalam penangan konversi. Dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 104 Tahun 2007 tentang penyediaan, pendistribusian dan penetapan harga elpiji 3 kilogram, seharusnya sebagai indikasi keseriusan pemerintah melaksanakan konversi minyak tanah. Maka pemerintah juga harus memperjelas lembaga penanggung jawab program serta lembaga pengimplementasi program tersebut. Saat ini peran , fungsi dan tugas masing-masing lembaga terlihat masih rancu. Sekurangnya ada empat lembaga yang terlibat diantaranya: Departemen ESDM, BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas), Departemen Perindustrian, Kementrian Koperasi dan UKM, Pemerintah Daerah dan Badan Usaha Swasta. Menjadi penting untuk meluruskan peran dan tugas masing-masing agar tidak terjadi tumpang tindih dan saling tuding. Keterbutuhan infrastruktur sebagai pendukung mutlak diperlukan, seperti Stasiun Pengisisan Bahan Bakar Elpiji (SPBBE).


Keempat, kinerja sumber daya manusia sebagai pelaku utama konversi, masih kurang andal dan terboncengi berbagai kepentingan. Tidak terealisasinya target pendistribusian paket konversi bisa menjadi pengesahan akan hal ini (lihat tabel). Mengingat jumlah masyarakat miskin yang terus bertambah, maka sangat diperlukan kecermatan dalam menentukan lapisan masyarakat yang akan menjadi sasaran utama.

Target dan Realisasi pendistribusian paket konversi minyak tanah

Region Wilayah Target(kk) Realisasi(kk)
Total - 15.000.000 2.244.635
I Sumatra 623.845 46.335
II Jabodetabek 7.495.265 1.501.122
III Jateng 858.000 235.418
IV Jatim dan Bali 6.022.890 461.760
(sumber: Kompas 2 april 2008)
Kelima. hal yang perlu disadari adalah tidak mudah mengubah kebiasan masyarakat yang sudah menggunakan minyak tanah selama puluhan tahun untuk tiba-tiba dipaksa beralih ke elpiji. Konversi energi bagi sebagian rakyat kecil dirasa akan menimbulkan banyak masalah. Pemahaman yang demikian terjadi karena beberapa alasan: pertama, dari aspek fisik, minyak tanah berupa benda cair nyata sehingga transportasi dan pengemasnya mudah, disamping penjualan dengan sistem eceranpun menjadi mudah. Kondisi ini akan memudahkan konsumen yang ingin membeli minyak tanah. Sebagai abstraksi: Konsumen (masyarakat kecil) dapat membeli minyak tanah ½ liter dengan harga subsidi Rp 1.500 dan menentengnya dengan mudah. Minyak tanah 0,5 liter bisa dimasukan kedalam botol bekas air mineral atau bahkan plastik, kondisi yang tak mungkin dilakukan oleh pembelian gas. Sedangkan gas dijual pertabung, dengan ketersediaan tabung terkecil adalah 3 kg dengan harga Rp 14.500 – Rp 15.000 (harga resmi). Konsumen jelas tidak bisa membeli 0,5 kg gas lantas membawanya dengan botol mineral. Kedua, aspek kimiawi , elpiji jauh lebih mudah terbakar (inflammable) dari pada minyak tanah.atas dasar ini banyak konsumen yang enggan atau takut menggunakan tabung elpiji. Melihat perbedaan sifat fisika dan kimianya memang patut dipertanyakan sejauh mana efektifitas dan keamanan dari program konversi tersebut.

Jika konversi bisa dianggap sebagai jembatan untuk mengurangi jumlah konsumen minyak tanah yang konon stok di bumi semakin menipis, maka pemerintah perlu segera mencari dan menerapkan strategi jitu untuk mengatasi dampak regulasi bagi konsumen. Departemen ESDM dan PT Pertamina perlu melibatkan peran serta kalangan Akademisi, LSM dan Ormas lainnya guna mengawasi pelaksanaan konversi secara melekat agar tidak terjadi penyalahgunaan dan penyimpangan.

Program ini memang harus berjalan secara berkesinambungan dan tidak bisa dilakukan instan dan sporadis mengingat tetap tingginya permintaan dan ketergantungan terhadap bbm, serta penggunaan bahan bakar alternatif seperti gas dan batu bara masih terkendala oleh infrastruktur. Penggantian jutaan kompor minyak tanah kepada kompor gas memerlukan pembiayaan yang cukup besar. Apalagi jika itu diberikan secara cuma-cuma. Untuk jangka panjang strategi pembiayaan perlu dipikirkan. Yang juga sangat vital adalah program sosialisasi informasi kepada masyarakat sebagai konsumen secara gamblang dan transparan sehingga tidak terjadi kesalahan persepsi bagi sebagian masyarakat yang mempunyai tingkat pendidikan terbatas. Hal ini sangat penting diperhatikan untuk menghindari berbagai masalah sosial yang tak terdeteksi oleh pemerintah.


Agus Sujatno

Tidak ada komentar: