Jumat, 22 Agustus 2008

Marketing Pangan untuk Anak, Perlukah Diatur?

Setiap tanggal 15 Maret organisasi konsumen di berbagai belahan dunia memperingati Hari Hak Konsumen Sedunia. Peringatan ini untuk menegaskan kembali bahwa konsumen sebagai kelompok terbesar dalam kegiatan ekonomi, memiliki hak yang asasi yang justru seringkali tidak terdengar. Hak ini antara lain hak atas keamanan produk, hak atas informasi, hak untuk memilih, hak untuk menyampaikan pengaduan dan mendapatkan ganti rugi. Peringatan Hari Hak Konsumen Sedunia ini juga sebagai tonggak dalam setahun program organisasi konsumen untuk dapat menyatukan langkah, bersinergi dan menguatkan posisi tawar, baik dalam melakukan advokasi kepada pemerintah dan pelaku usaha maupun dalam melakukan pemberdayaan kepada masyarakat.

Setiap tahun, peringatan tersebut memilih tema tertentu, yang diyakini perlu jadi perhatian organisasi konsumen di seluruh dunia, baik di negara-negara maju, maupun negara-negara berkembang. Untuk tahun 2008, tema yang dipilih adalah “Generasi Junk Food, kampanye untuk menghentikan marketing produk pangan tidak sehat untuk anak”. Isu ini juga sebagai respon terhadap beberapa fenomena kesehatan di dunia yang dicatat oleh organisasi kesehatan dunia (WHO), diantaranya peningkatan penyakit tidak menular dan epidemi obesitas.

Obesitas atau kegemukan ternyata tidak hanya menjadi masalah negara-negara maju. Negara-negara miskin dan negara berkembang pun mulai menghadapi permasalahan ini. Justru pada negara berkembang, masalah nutrisi salah (malnutrisi) menjadi beban ganda. Di satu sisi, negara-negara miskin dan berkembang masih bergelut mengatasi masalah kurang gizi, namun di sisi lain, obesitas mulai menjadi masalah baru, terutama di perkotaan. Data WHO menunjukkan, dalam 20 tahun terakhir, obesitas meningkat 3 kali di negara-negara berkembang. Hal ini terjadi karena mengadopsi gaya hidup Barat (negara maju): kurang aktivitas fisik dan mengonsumsi makanan tinggi kalori.

Diyakini, faktor marketing pangan tidak sehat yang ditujukan pada anak punya potensi menghasilkan anak-anak yang malnutrisi dan kegemukan. Anak merupakan kelompok masyarakat yang rawan terhadap iklan. Mereka tidak mampu memahami tujuan sesungguhnya dari iklan. Pada umumnya, iklan tidak ditujukan untuk memberi informasi tentang produk, tapi lebih ditujukan untuk mendorong orang membeli. Penelitian Consumers International tahun 2004 menunjukkan bahwa sebagian besar anak senang menonton iklan dan percaya bahwa iklan itu informatif. Di Indonesia, penelitian tahun 2002 juga menunjukkan hal yang sama.

Kalangan industri, terutama produsen pangan, menilai bahwa anak merupakan target yang disukai untuk iklan. Anak cenderung mudah dipengaruhi oleh iklan yang atraktif, apalagi bila disertai iming-iming hadiah. Di sisi lain, orang tua cenderung sulit menolak, apabila anak sudah merengek minta sesuatu. Penelitian YLKI tahun 2002 memperlihatkan hal ini. Keputusan orang tua untuk membeli hampir 60 persen karena permintaan anak. Sementara keputusan anak untuk membeli sangat kuat dipengaruhi oleh iklan, termasuk karena menyukai tampilan iklannya serta model iklan yang digunakan.

Pertemuan WHO tahun 2006 yang membahas Marketing Makanan dan Minuman Non Alkohol yang Ditujukan untuk Anak mencatat beberapa hal. Di antaranya: produk pangan mendominasi iklan pada anak; lima kategori produk pangan yang mendominasi iklan yaitu minuman ringan (soft drink), serealia, permen dan coklat, makanan ringan (snacks), dan restoran cepat saji; pangan yang ditawarkan oleh iklan berlawanan dengan pangan sehat yang direkomendasikan untuk dikonsumsi; dan anak sangat lekat dan suka pada iklan yang ‘tidak sehat’ ini. Iklan dan promosi pangan diduga kuat memengaruhi pengetahuan anak tentang nutirisi, memengaruhi pilihan dan konsumsi pangan mereka, dan pada gilirannya akan memengaruhi status kesehatan anak.

Data belanja iklan perusahaan-perusahaan besar tahun 2006 menunjukkan 7,8 milyar dolar dihabiskan untuk iklan pangan, 4 milyar dolar pada soft drink (minuman ringan), dan 1,1 milyar pada iklan biskuit, coklat, permen dan sebangsanya. Bayangkan, siapa yang akan mampu melawannya! Sementara, untuk satu dolar yang dikeluarkan WHO untuk perbaikan nutrisi, harus berhadapan dengan 500 dolar yang dikeluarkan industri pangan untuk promosi dan pemasaran produk pangan olahannya. Kondisi yang sama pasti juga terjadi di Indonesia. Berapa anggaran promosi kesehatan Departemen Kesehatan dibandingkan pengeluaran iklan industri pangan?

Apa yang harus dilawan?

Dari iklan, promosi, labeling yang ada, tidak mudah bagi kita, terutama anak-anak, untuk membedakan mana pangan yang sehat dan tidak sehat. Yang digolongkan dalam pangan tidak sehat adalah pangan yang mengandung lemak, gula dan/atau garam tinggi. Atau pangan dengan kandungan serat yang tinggi. Untuk Indonesia, pangan yang banyak mengandung bahan tambahan sintetis pun layak dikategorikan pangan tidak sehat.
Sayangnya, Indonesia belum memiliki standar, terutama untuk kandungan lemak, gula dan garam, yang digolongkan tidak sehat. Beberapa negara telah menetapkan rujukan yang bisa digunakan antara lain: untuk lemak, 20 persen digolongkan tinggi, sementara untuk gula 15 persen dan garam 1,5 persen dikategorikan tinggi dan tidak sehat. Sementara negara lain menggunakan rujukan: lemak tidak boleh lebih dari 35% total kalori, garam tidak boleh lebih dari 230 mg per sajian (untuk makanan ringan). Dengan rujukan ini, konsumen perlu pintar-pintar mempelajari kandungan nutrisi yang terantum pada label produk pangan olahan. Karena, mana ada produsen pangan yang mau mengatakan produknya tidak sehat. Apalagi telah memiliki ijin edar dari yang berwenang.
Mengampanyekan pola makan dan hidup sehat saja tampaknya tidak cukup. Diperlukan regulasi lain yang dapat mendukung ke arah itu. Di antaranya dengan membuat peraturan yang membatasi anak dari paparan iklan dan promosi pangan, terutama pangan tidak sehat. Berapa banyak iklan yang dibintangi oleh anak, menggunakan tokoh-tokoh kartun yang disukai anak, menyertakan hadiah-hadiah yang disukai anak? Ini semua jelas menunjukkan anak sebagai target. Tapi, siapa yang mengkaji bahwa produk pangan yang diiklankan tersebut ’sehat’ bagi anak? Apakah orang tua mampu menilai dan menghitung ’tingkat kesehatan’ jajanan anak?
Untuk produk pangan yang memang disasar pada anak, atau produk pangan yang cenderung disukai dan dikonsumsi anak, tampaknya pemerintah perlu menerapkan standar yang lebih ketat lagi. Disamping membatasi paparan anak terhadap iklan pangan secara umum, khususnya pangan yang tergolong tidak sehat untuk anak.

Huzna G Zahir, Ketua Pengurus Harian YLKI



Tidak ada komentar: