Rabu, 20 Agustus 2008

Go Green, Go Organic



Pada 14 November 2007 penulis mengikuti talkshow yang diadakan oleh Departemen Pertanian mengenai Bulan Mutu Produk Hasil Pertanian. Dari talkshow tersebut terungkap bahwa beberapa produsen, yang merupakan petani sederhana, yang telah mensertifikasi produknya, baik berupa HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) maupun produk organik, ‘kewalahan’ dalam memenuhi permintaan pasar. Bahkan dari hasil kerjasama dengan suatu retail modern, produsen ini mengaku produknya langsung habis dalam sekejap di retail tersebut. Begitu juga dengan suatu produk beras lokal yang berhasil mendapat sertifikat mutu untuk orisinalitas varietas benih lokal Pandanwangi dan sertifikat organik, mengaku tidak dapat memenuhi permintaan pasar yang demikian besar. Padahal produk beras tersebut baru beredar di pasar domestik, dan harganya Rp 15.000/kg, jauh lebih mahal dibandingkan harga beras biasa.

Begitu juga laporan Asian Food Journal (edisi September 2007), menunjukkan bahwa trend konsumen Indonesia ke arah pangan organik semakin baik. Tetapi memang tidak ada data spesifik yang menunjang. Kemudian sebuah retail modern yang khusus menyediakan pangan organik menyatakan bahwa omzetnya meningkat 30% dibandingkan tahun lalu. Ini berarti peningkatan yang cukup signifikan, karena untuk pangan umumnya, omzet produsen hanya meningkat 10-20%.

Menilik trend seperti ini, dapat dilihat bahwa permintaan konsumen terhadap produk yang berkualitas akan semakin meningkat. Bukan saja kualitas berupa keamanan produk, tetapi juga nilai tambah produk berupa aspek kesehatan, maupun aspek lingkungan. Memang, dengan semakin terbukanya akses informasi, baik melalui media visual, cetak maupun internet, jumlah konsumen yang sadar akan dampak pola konsumsi bagi diri, lingkungan, maupun sosial ekonomi akan semakin bertambah.

Selain itu, dengan semakin terbukanya arus informasi secara global, trend konsumen global pasti juga akan berpengaruh pada konsumen Indonesia. Trend konsumen global telah mensyaratkan kualitas produk secara ketat, baik sesuai dengan standar keamanan, maupun dari segi ramah pada lingkungan dan aspek sosial perusahaan (seperti perlakukan terhadap karyawan, usia pekerja anak-anak, kelayakan gaji dan sebagainya). Secara global, pangan organik sudah menjadi tren konsumen, karena beberapa faktor, terutama dikaitkan dengan berbagai isu kesehatan. Selain itu, di Eropa dan Amerika masyarakatnya masih trauma dengan isu penyakit sapi gila, dan beberapa penyakit baru lainnya yang disebabkan oleh proses non-alamiah. Kemudian, kampanye serta gerakan ‘back to nature’ juga gencar dipromosikan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Jadi tidak heran jika pertumbuhan permintaannya meningkat secara signifikan. Seperti di Perancis, 52% masyarakat Perancis membelanjakan uangnya sebesar 65 euro setiap tahun untuk pangan organik. Kepedulian pemerintahnya pun diwujudkan dengan meningkatkan lahan pertanian organik sebesar 5% pada tahun 2005.

Pada tahun 2007 ini diperkirakan pasar global untuk pangan organik mencapai 40 milyar dollar AS dan akan menjadi 70-100 milyar dollar AS pada tahun 2012 (sumber: Organic Agriculture & Food Security). Indonesia dengan sumber pertanian yang berlimpah seharusnya dapat bermain di pasar ini. Tetapi sayang, permintaan pasar global tersebut akan jaminan mutu dan sertifikasi organik yang diakui, membuat kemampuan penetrasi produk Indonesia sangat lemah.

Jaminan Kualitas Pangan Organik

Bukti bahwa pangan organik lebih sehat ternyata bukan hanya isapan jempol. Penelitian yang dilakukan Rutgers University (Amerika Serikat) membuktikan bahwa pangan organik lebih kaya mineral dibandingkan dengan pangan non-organik. Tabel dibawah ini menunjukkan perbandingan kadar mineral pangan organik dan pangan non-organik.

Sayur Abu mineral Fosfat Kalsium Magnesium Kalium Natrium Boron Besi
Buncis Organik 10.45 0.36 40.5 60.0 99.7 8.6 73 227
Non-Org 4.04 0.22 15.5 14.8 29.1 0.9 10 10
Kubis Organik 10.38 0.38 60.0 43.6 148.3 20.4 42.0 94.0
Non-Org 6.12 0.18 17.5 13.6 33.7 0.8 7.0 20.0
Selada Organik 24.48 0.43 71.0 49.3 176.5 12.2 37.0 516
Non-org 7.01 0.22 16.0 13.1 53.7 0.0 6.0 9.0
Tomat Organik 14.2 0.35 23.0 59.2 148.3 6.5 36.0 1938
Non-Org 6.1 0.16 4.5 4.5 58.8 0.0 3.0 1
Bayam Organik 28.56 0.52 96.0 203.9 237.0 69.5 88.0 1584
Non-Org 12.38 0.27 47.5 46.9 84.6 0.0 12.0 49
Sumber : Rutgers University USA (http://www.organicnutrition.co.uk/whyorganic/whyorganic.htm)

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai nutrisi mineral pangan organik jauh lebih baik dari pangan non-organik. Contoh yang mencolok adalah nilai nutrisi besi pada tomat dan bayam, dimana pada pangan organik mencapai skala ribuan miligram, sedangkan tomat dan bayam non-organik hanya mencapai 1 mg dan 49 mg. Kemudian, pada pangan organik terdapat trace elements (unsur yang sedikit dibutuhkan tubuh, tetapi sangat penting dalam pertumbuhan, perkembangan dan pemeliharaan tubuh) yang kaya, sementara trace elements pada pangan non-organik tidak lengkap.
Walaupun kualitas pangan organik sangat baik, tetapi jaminan mutu berupa sertifikasi produk masih jauh dari harapan. Memang, pemerintah melalui Kebijakan Pusat Standarisasi dan Akreditasi Departemen Pertanian membagi produk berkualitas menjadi 3 bagian :
1. Produk Prima I: manajemen mutu dan keamanan pangan produk tanaman segar yang telah menerapkan standar internasional (GAP = Good Agriculture Practises).
2. Produk Prima II: Standarisasi dan dokumentasi standar prosedur operasional penerapan budidaya yang baik per komoditi
3. Produk Prima III: Fondasi umum bagi petani dan kelompok tani ditingkat budidaya, yaitu :
o Penerapan penggunaan pestisida yang baik
o Catatan penggunaan pestisida yang baik

Ditilik dari ketiga kategori diatas, maka pangan organik seharusnya minimal menempati posisi sebagai Produk Prima III, karena jangankan meminimalkan penggunaan pestisida, pangan organik malah tidak menggunakan pestisida sama sekali. Hanya untuk menempati posisi ini, jalan panjang harus ditempuh. Proses sertifikasi keamanan pangan produk segar memakan 6 tahap, baru bisa dianugerahi produk prima tersebut. Tahap tersebut antara lain mulai dari pengajuan permohonan, asesmen, survailen, verifikasi, sampling, pengujian ke laboratorium hingga disetujui oleh otoritas kompeten.
Bagaimana jika konsumen benar-benar ingin jaminan bahwa pangan segar ini pangan organik? Tentu bentuk sertifikasinya bukan sekedar jaminan kualitas, tetapi jaminan ke’organik’annya. Sayang, untuk pangan organik pemerintah memang jelas masih menganaktirikan. Soalnya, sampai kini Standar Nasional Indonesia (SNI) pangan organik masih dalam tahap revisi. Sedangkan lembaga sertifikasi Pangan Organik dan cara memperoleh sertifikat tersebut masih dibahas oleh Otoritas Kompeten Pangan Organik (OKPO) yang terdapat di Departemen Pertanian. Hingga kini (Januari 2008) pembahasan tersebut masih berlangsung. Jadi, tampaknya jalan menuju ’jaminan’ keorganikan ini memang masih panjang.

Ilyani Sudardjat
Staf Penelitian YLKI

Tidak ada komentar: