
Dunia perbankan menemukan titik gairahnya di tengah peradaban umat manusia sekarang ini. Dalam hal ini, Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas perbankan di Indonesia mempunyai andil yang besar untuk mengatasi masalah yang timbul sewaktu-waktu. Makin menjamurnya produk perbankan, secara signifikan diikuti pula dengan permasalahan yang mengikutinya. BI dalam hal ini harus selalu berupaya meningkatkan perlindungan nasabah, yang terkadang menerima perlakuan kurang adil dari bank. Perlindungan terhadap nasabah merupakan salah satu bagian dari 6 implementasi pilar Arsitektur Perbankan Indonesia, yakni program peningkatan perlindungan nasabah selain dari struktur perbankan yang sehat; sistem regulasi yang efektif; sistim supervisi independen dan efektif; industri perbankan yang kuat; dan infrastruktur yang memadai.
Selama ini jalur penyelesaian perselisihan perbankan di luar pengadilan memang belum ada sampai sekarang. BI saat ini hanya memiliki Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan yang berada di bawah struktur dan kepengurusan BI dan itupun belum memiliki tugas dan kewenangan yang jelas dalam penyelesaian perselisihan perbankan. BI hanya bertindak sebagai “fasilitator”. Hal ini berarti bahwa setiap penyelesaian pengaduan nasabah tidak dapat memberikan keputusan yang mengikat dan tidak adanya kepastian hukum bagi nasabah. Penyelesaian perselisihan hanya berdasarkan itikad baik dari kedua belah pihak yang bertikai. Lagi-lagi yang manjadi imbasnya, tentu saja nasabah kecil yang kebanyakan pengaduan mereka seputar kartu kredit, anjungan tunai mandiri, berbagai bentuk kredit dan tabungan. Terkadang hanya kasus yang dianggap prinsipil yang ditindaklanjuti oleh tim pengawas perbankan. Sementara kasus kecil seringkali diabaikan. Selain itu apabila tidak tercapai kesepakatan, Bank Indonesia tidak mampu berbuat apa-apa. Bisa ditebak langkah berikutnya yakni kasus terbengkalai dan tidak diteruskan, sementara pelaku usaha/bank tetap melakukan langkah-langkah yang menurut mereka benar. Jarang kasus diteruskan ke pengadilan, karena sudah menjadi rahasia umum akan memakan waktu lama dan dana yang besar.
Permasalahan yang timbul diatas, mengindikasikan saatnya Lembaga Mediasi Bank Indonesia dirombak total karena tidak efektif dan tidak menjamin kepastian hukum bagi nasabah. Sudah saatnya dibentuk Lembaga Mediasi Perbankan Independen (LMPI) di luar campur tangan BI baik dari struktur organisasi maupun kepengurusan. Kenapa kita harus membentuk lembaga mediasi yang independen?
Belajar dari lembaga mediasi yang ada seperti BMAI (Badan Mediasi Asuransi Indonesia), keanggotaannya terdiri dari perwakilan perusahaan asuransi. Dalam praktiknya ketika terjadi permasalahan asuransi, konsumen terkadang ogah-ogahan menyampaikan pengaduan ke BMAI. Menurut pandangan pengadu, bahwa BMAI terdiri dari orang-orang asuransi juga. Ditakutkan, hasilnya nanti tidak fair dan proporsional, lebih membela kalangan dari pelaku usaha/asuransi daripada konsumen pengadu. Statistik juga berkata dan secara akal sehat saja, apabila struktur dan anggotanya merupakan bagian dari institusi yang diadukan, pastilah diragukan independensi dari keputusannya dan pengaduan yang datang umumnya sedikit jumlahnya. Belajar dari pengalaman seperti itu, kiranya LMPI haruslah benar-benar independen supaya bisa membawa angin segar perubahan di dunia perbankan Indonesia.
Adanya lembaga mediasi independen, secara filosofi akan menguntungkan banyak pihak yang selama ini terlibat dalam perbankan:
1) Nasabah
Dengan adanya lembaga mediasi independen, nasabah punya kesempatan untuk memperjuangkan permasalahannya, tanpa harus takut terjegal di pengadilan dan kalah bersaing dengan pelaku usaha/bank yang tentu saja lebih besar dan punya modal yang kuat. Bisa dibayangkan, bagaimana nasabah yang kecil dengan persoalan kartu kredit, kredit tanpa agunan, dan lainnya harus rela kehilangan hak hukumnya hanya karena terganjal biaya ke pengadilan dan takut repot atau bahkan menurut pengalaman penulis ada beberapa konsumen yang takut fighting karena was-was diserang balik oleh pelaku usah/bank apabila gugatannya tidak terbukti. Inilah yang harus diakomodasi oleh LMPI, karena nasabah merupakan bagian yang paling penting dari dunia perbankan.
2) Pelaku Usaha
Pelaku Usaha/Bank bisa mengontrol proses bisnisnya dan dapat sesegera mungkin mengeliminir kesalahan yang berpotensi memperburuk citra mereka (pelaku usaha). Nasabah yang tidak mendapat tanggapan akan kasusnya, bisa menyebarkan isu/gosip tentang bank terkait, padahal belum tentu kebenarannya. Nasabah melakukannya karena ia memang tidak punya sarana untuk melanjutkan gugatan, serta ditakutkan secara serampangan melakukan upaya “pembunuhan karakter” bank terkait (dari mulut ke mulut). Apalagi bila sampai diekspos oleh media massa dan disebarluaskan, pastilah menimbulkan efek yang sangat negatif. Zaman sekarang sangat mudah membuat opini yang tidak benar dan bisa saja opini-opini tersebut disambut dengan antusias oleh saingan dari pelaku usaha/bank terkait untuk “memancing di air keruh”
Pelaku usaha/bank juga bisa mendapat feedback bagi proses bisnis mereka dari pengaduan nasabah. Mereka juga bisa show up kepada nasabah akan performance perusahaan mereka dalam melindungi nasabahnya. Dari sini, ke depannya tentu akan ada penilaian umum dari masyarakat nasabah terhadap bank tersebut. Pelaku usaha/bank mana yang akan dipilih, bergantung pada pilihan alami dari nasabah.
3) Bank Indonesia
BI sebagai otoritas perbankan bisa belajar dari permasalahan yang ada, untuk kiranya mengambil kebijakan perbankan ke depan(forward looking) secara makro demi kemajuan dunia perbankan. Selama ini kesan yang timbul dalam masyarakat adalah “institusi misterius” yang sangat angker di tengah masyarakat dan sulit dimasuki oleh ide-ide dari masyarakat. Diharapkan dengan adanya LMPI, BI bisa lebih “membumi” di tengah masyarakat, karena biar bagaimanapun dunia perbankan sudah menjadi kebutuhan publik yang sangat mendasar di era sekarang.
4) Masyarakat Luas
Secara umum, masyarakat luas bisa melihat dengan transparan tentang pengaduan perbankan dan penyelesaiannya. Dengan ini diharapkan dapat menumbuh kembangkan serta memunculkan ide-ide pemikiran kreatif dalam menganalisa permasalahan perbankan yang nantinya diharapkan membawa perubahan di dunia perbankan.
Konkretnya, mereka bisa menjatuhkan pilihan ekonominya terhadap bank yang menurut mereka benar dan tanggap terhadap permasalahan nasabah atau dengan kata lain menggugah natural justice dari masyarakat. Peraturan-peraturan yang dogmatis dan secara legal hukum formal dibolehkan, nantinya bisa di-counter dengan kebenaran hakiki dari khalayak ramai. Jangan ada hukum atau peraturan yang menyakiti nasabah sementara sebaliknya pelaku usaha/bank menari-nari diatas penderitaan nasabah. Peraturan-peraturan perbankan sudah selayaknya terbuka bagi demokratisasi dan dikembalikan filosofi hukum atau peraturan, bahwa tujuan awalnya demi kebaikan dan ketertiban umat manusia.
Dengan keunggulan lembaga mediasi independen, secara ideal tidak ada alasan apapun yang menjadi penghambat dalam pembentukannya. Kita harus mengeluarkan semua energi yang ada untuk bahu-membahu menggalang kekuatan mewujudkannya. Akan tetapi kita perlu dengan seksama memformat sedemikian rupa pembentukan LMPI, agar kedepannya tidak terjadi masalah ataupun menimbulkan salah interpretasi bahkan kontroversi dalam kegiatannya. Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian antara lain:
1) Biaya awal pembentukan lembaga mediasi independen didanai oleh Bank Indonesia maupun biaya operasional minimal kedepannya. Akan tetapi penulis mengusulkan supaya nantinya setiap bank yang bermasalah haruslah mengeluarkan biaya/uang untuk membiayai administrasi perkara ataupun membayar sejumlah denda bila terbukti bersalah. Uang ini bisa dipakai menjadi “tabungan modal” lembaga mediasi independen sehingga tidak melulu bergantung kepada BI.
Selain itu bisa didayagunakan sebagai promosi keberadaan lembaga independen bagi masyarakat luas, sehingga seluruh Indonesia tahu bahwa ada lembaga penyelesaian terhadap kasus mereka. Sehingga dengan promosi tersebut, diharapkan ada partisipasi dari seluruh elemen masyarakat dalam perkembangan kedepannya. Impiannya, bila memungkinkan LMPI bisa didirikan di setiap provinsi atau di kota-kota besar dengan tingkat perkembangan yang besar. Bisa juga, dana yang terkumpul dapat dipergunakan untuk memaksimalkan kinerja operasional lembaga. Sudah menjadi rahasia umum “lagu lama” bahwa setiap instansi birokrasi pemerintah, untuk mengelak dari tugas, selalu berkata bahwa instansi mereka terbentur pada dana. Uang memang sangat berperan dalam kemajuan suatu institusi, selain tidak terlepas dari keprofesionalan pengurusnya.
Selain itu “tabungan awal” dapat dipergunakan sebagai bonus kesejahteraan personel LMPI. Ini bisa dijadikan pemaju semangat, asalkan nantinya diatur secara tegas sehingga hal-hal yang tidak diinginkan, seperti korupsi bisa dihindari, atau diaudit oleh akuntan publik independen. Menurut hemat penulis, biaya operasional dan kesejahteraan anggota, keduanya berfungsi sebagai “motor penggerak energi” LMPI nantinya.
Fungsi seperti ini perlu diperhatikan betul dan dijalankan secara konsisten, karena berfungsi ganda juga yakni bisa memaksa setiap pelaku usaha/bank memaksimalkan complain center internalnya.dan tentu saja pelaku usaha/bank akan sekuat tenaga menyelesaikan pengaduan nasabah sebaik-baiknya. Secara alami mereka akan takut (efek jera) karena nantinya harus membayar administrasi perkara maupun denda (efeknya pada cash flow perusahaan) atau kerugian nama baik, karena tentu saja menjadi preseden yang buruk bagi perusahaan mereka. Diharapkan juga ada aturan yang menetapkan sanksi atau hukuman bagi pelaku usaha/bank yang seringkali diadukan oleh nasabah.
2) Prosedur pengajuan pengaduan lembaga mediasi independen masih bisa mengadopsi dari lembaga mediasi terdahulu, dimana setiap pengaduan yang masuk haruslah melalui proses dari bank yang bersangkutan (internal). Ketika tidak tercapai kesepakatan penyelesaian, barulah nasabah menyampaikan pengaduan kepada LMPI. Ini berfungsi juga supaya menjaga reputasi bank terkait, sehubungan dengan adanya pengaduan nasabahnya.
Apabila pengaduan telah melalui prosedur penyelesaian internal mereka, maka pelaku usaha/bank bersangkutan tentu akan “siap tempur” untuk menyelesaikan perselisihan di LMPI karena mereka sudah puas dan mengerti akan kasus. Pastinya mereka punya argumen dan bukti/dasar hukum yang kuat mengenai permasalahan apabila kasus mereka dilemparkan ke LMPI. Inilah yang akan membuat semua pihak enjoy bertemu di LMPI dan paham akan keberadaannya unutk bersengketa di LMPI.
LMPI juga nantinya harus punya kekuatan untuk memaksa setiap bank menanggapi setiap panggilan. Jangan sampai pelaku usaha/bank menganggap remeh dan merasa jumawa menang sendiri. LMPI juga harus berani memberikan sanksi yang berat dan tegas apabila pelaku usaha/bank “diam membisu”, seperti memberi teguran keras kepada bank bersangkutan, bisa kepada pimpinan/pejabat bank atau bisa nantinya diperhitungkaan tingkat kesehatan bank bersangkutan. Diharapkan dengan metode seperti ini, penyelesaian sengketa tersebut berjalan lancar tanpa ada satupun halangan yang berarti. Karena pengalaman penulis, contoh yang terjadi pada BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen). Penyelesaian kasus yang terjadi pada BPSK, seringkali tidak “berbuah manis”. Konsumen sudah “semangat 45” memperjuangkan kasusnya, tiba-tiba terampas hanya karena pelaku usaha tidak mau menjalankan proses penyelesaian di BPSK. Itu terjadi karena ada satu pasal yang berbunyi ”bahwa penyelesaian di BPSK, harus didasarkan kesepakatan kedua belah pihak sebagai alternatif penyelesaian sengketa”. Jangan pengalaman seperti ini terjadi lagi. Perlu fokus untuk membuat aturan yang jelas dan tidak bermakna ambigu. Sehingga bisa dihindarkan oknum-oknum yang mau menghindarkan penyelesaian dengan bermain kata-kata pada aturan (“bersilat lidah”).
3) Bentuk penyelesaian LMPI nantinya bisa ditempuh melalui jalur mediasi dan ajudikasi. Tapi yang mesti perlu diingat bahwa LMPI harus bisa memutus setiap perkara, tidak boleh menolak perkara perbankan baik itu tindak pidana ataupun berbagai macam karakteristik model kasusnya (asal diatur secara tugas fungsi dan wewenangnya). Minimal setiap nasabah mendapat progress dari setiap kasusnya, apa itu diproses atau dilemparkan, apabila tidak menjadi kewenangan dari LMPI. Harus pula diakomodir kejelasan mengenai tenggat waktu penyelesaian. Jangan sampai setiap permasalahan tidak ada keputusan dan tidak jelas kapan waktu penyelesaian. Proses yang memakan waktu yang berlarut-larut, sangat tidak efektif dan tidak mencerminkan kepastian hukum. Pada dasarnya setiap manusia, ingin setiap masalahnya diselesaikan secara cepat. Pameo lama mengatakan”menunggu adalah pekerjaan yang membosankan”.
Dengan demikian LMPI tidak hanya sebagai “fasilitator” tapi bermutasi sebagai “pengambil keputusan selain pengadilan”. Ini ditujukan demi perlindungan terhadap nasabah. Yang juga tidak kalah penting, putusan haruslah dilaksanakan pada saat dikeluarkan/dibacakan. Apabila yang “kalah” tidak mau melakukan hasil keputusan, maka LMPI harus mengambil tindakan tegas, bila perlu melibatkan unsur kepolisian, supaya semua pihak terkait mendapat keputusan yang pasti hukumnya dan juga menjaga eksistensi/nama baik/kinerja LMPI dan menghindarkan dari gelombang protes dari pihak-pihak manapun terutama yang “menang” karena belum mendapat haknya.
Krusialnya, penulis menyarankan adanya aturan tegas mengenai batas jumlah gugatan perkara yang tidak bisa dibanding. Sangat rawan juga apabila putusan LMPI tidak bisa dibanding, karena sistem hukum yang dianut Indonesia bahwa kepastian hukum, ada pada lembaga yudikatif (pengadilan). Solusi ini berfungsi ganda. Menentukan batas jumlah gugatan adalah jalan terbaik bagai keduabelah pihak. Bagi nasabah kecil (yang dari segi dana minim dan tidak punya akses hukum baik pengadilan ataupun arbitrase), bisa saja mereka “dimenangkan” tetapi kemudian pelaku usaha/bank melakukan banding sehingga kepastian hukum bagi nasabah tidak ada sama sekali dan sudah bisa dibayangkan bagaimana nasib mereka. Jadi ini perlu sangat diperhatikan!. Sementara apabila nilai gugatannya besar (di luar ketentuan yang tidak bisa dibanding) bisa memberi nafas lega bagi pelaku usaha/bank ataupun sebaliknya nasabah. “Si kalah” terbuka kesempatan untuk mengajukan banding, bisa melalui arbitrase (UU No.30 Thn 1999) atau pengadilan. Dengan pilihan metode seperti ini, kedua belah pihak diperhatikan dan kepentingannya terakomodasi. Selain itu dengan metode seperti ini dapat memberikan efektivitas penggunaan akta kesepakatan hasil mediasi perbankan di pengadilan maupun di luar pengadilan. Masing-masing akta penyelesaian jelas kekuatan hukumnya masing-masing. Jadi tidak akan mungkin terjadi salah interpretasi, apabila di kemudian hari kekuatan akta/penyelesaian itu dipertanyakan.
4) Nantinya, LMPI bukan hanya sekedar tempat penyelesaian perselisihan perbankan, tetapi juga harus bisa menampung semua keluhan konsumen dan dari pihak lainnya berkenaan dengan seluk beluk perbankan. Hendaknya nantinya juga mengembangkan complain center, yang menurut hemat penulis, haruslah memuat 3 aspek, yaitu:
o Akses pengaduan: makin banyak ragam akses pengaduannya (tertulis maupun lisan) maka akan sangat menguntungkan bagi pengadu untuk melapor, seperti web site, telepon bebas pulsa, PO.BOX, kotak saran, dll. Karena letak geografi Indonesia beragam dan kebanyakan masyarakat Indonesia tinggal di pedesaan. Semoga dengan makin banyaknya/kreatifnya akses pengaduan di LMPI, makin bagus dan bergunalah bagi seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Sehingga dunia perbankan, tidak hanya milik orang kota dan ini juga dapat mempercepat proses pembangunan dan pengetahuan/edukasi akan pentingnya dunia perbankan di zaman sekarang.
o Step by step pengaduannya jelas, sehingga pengadu bisa mengetahui secara detail proses mengadu, sehingga nyaman untuk melakukan pengaduan dan tahu kelanjutan aduannya. Menurut pengalaman penulis, masyarakat konsumen sering salah kaprah karena tidak tahu tahapan dari proses pengaduan di institusi yang ada. Mereka berpikir sudah melakukan segala upaya, padahal faktanya mereka belum melakukan upaya yang total. Sehingga bisa dibayangkan, masing-masing pihak akan saling gontok-gontokan membenarkan klaimnya dan upaya penyelesaian yang menjadi pokok permasalahan tidak tercapai, karena permasalahan melebar dan keluar dari intinya. Untuk itulah LMPI secara tegas mengatur proses pengaduan, bila perlu dibuat bagan yang jelas sehingga terlihat dengan gamblang.
o Adanya feedback kepada pengadu. Pengadu tahu bahwa pengaduannya ditanggapi dan ada penjelasan/penyelesaian/advice kepada pengadu. Jadi pengaduan tidak “dipeti-eskan” ataupun “dibuang ke tong sampah”. Diharapkan dengan dibukanya juga pengaduan dari masyarakat, kelak LMPI bisa memberikan advice kepada BI, dalam mengambil langkah-langkah kebijakan demi kemajuan dunia perbankan Indonesia, karena segala aspirasi dari bawah telah mereka serap dan mereka tinggal menyampaikan kepada BI. Biar bagaimanapun, saran dari nasabah/masyarakat luas sangat penting demi kemajuan dunia perbankan.
5) LMPI nantinya haruslah secara berkala memberikan laporan kepada BI, bank-bank maupun kepada publik/masyarakat luas tentang hasil kinerja mereka. Dari sinilah, nantinya dunia perbankan dan segala elemen ataupun masyarakat luas yang terlibat di dalamnya dapat belajar dan mengetahui permasalahan perbankan. Ini juga sangat penting dalam menilai kinerja orang LMPI sendiri. Apakah kinerja dan keputusan yang mereka hasilkan, sudah memenuhi asas keadilan dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Disini kita dapat mengeliminir terjadinya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), sehingga publik dapat menilai luar dalam dan terbukanya berbagai macam masukan dari berbagai elemen ataupun bisa juga pandangan dari luar negeri, dan yang kesemuanya bermuara bagi kemajuan dunia perbankan.
Dengan argumen-argumen yang dikemukakan diatas, diharapkan dunia perbankan Indonesia menuju pintu demokratisasi yang efektif demi perbaikan perbankan. Jangan ada lagi keraguan bagi para nasabah untuk memperjuangkan haknya dan sebaliknya pelaku usaha/bank tidak perlu takut nantinya kepentingan mereka tidak didengarkan. Marilah kita secara bersama-sama paham akan pentingnya LMPI demi kehidupan perbankan Indonesia. Sudah saatnya kita menuju Lembaga Mediasi Perbankan Independen. “Nasabah Indonesia, Sambutlah”
by MAY LIM CHARITY (Legal Staff YLKI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar