Rabu, 20 Agustus 2008

Peran Konsumen Dalam Keselamatan Transportasi Laut


Indonesia sebagai negara yang terdiri dari ribuan pulau dan memiliki wilayah laut yang sangat luas memerlukan transportasi laut yang andal dan memadai untuk sarana mobilitas dan pergerakan ekonomi. Bahkan di sebagian wilayah Indonesia, kapal adalah satu-satunya alat transportasi yang tersedia untuk terhubung dengan dunia luar.

Namun pentingnya sektor transportasi laut ini tidak didukung dengan sistem keselamatan dan keamanan transportasi yang baik. Prosedur keselamatan transportasi laut masih dilakukan setengah-setengah. Hal ini menyebabkan tingginya angka kecelakaan angkutan laut di Indonesia. Menurut Direktur Jenderal (Dirjen) Perhubungan Laut, Harijogi, pada 2005 telah terjadi 125 kasus kecelakaan pelayaran dengan 131 orang meninggal, 2006 sebanyak 143 kasus dengan 727 korban jiwa, dan 2007 hingga bulan Juni saja telah mencapai 119 kasus kecelakaan dengan 124 korban jiwa (www.kapanlagi.com). Angka-angka tersebut sangat menyedihkan karena kecenderungannya selalu meningkat dari tahun ke tahun.

Kecelakaan transportasi laut adalah kesalahan kolektif yang telah berlangsung bertahun-tahun dan bila sistemnya tidak segera diperbaiki, kecelakaan kapal penumpang serta kapal penyeberangan akan terus terjadi dan akan merenggut korban jiwa yang lebih banyak lagi.

Permasalahan Tingginya kecelakaan angkutan laut yang merenggut puluhan korban jiwa membuktikan bahwa implementasi peraturan dan kebijakan pemerintah belum efektif dan keberadaan perusahaan pelayaran sebagai pelaku usaha dalam menangani persoalan transportasi laut masih sangat amatir. Dari berbagai kejadian ditengarai, jika terjadi kecelakaan, kesalahan biasanya ditimpakan pada kelalaian nahkoda (human error). Seperti kasus tenggelamnya kapal Senopati Nusantara dan terbakarnya Levina I, nahkoda adalah tersangka tunggalnya.

Benarkah hanya nahkoda satu-satunya penyebab terjadinya kecelakaan transportasi laut?

Memang, Pemerintah menetapkan berbagai regulasi dalam hal penyelenggaraan transportasi laut. Sayangnya yang terjadi di lapangan adalah banyaknya pelanggaran regulasi dan konyolnya tanpa sanksi. Ruwetnya birokrasi, serta rendahnya integritas birokrat di pelabuhan menunjukkan kurangnya kompetensi sumberdaya manusia yang terlibat. Bila terjadi kecelakaan, penyelesaiannya bersifat jalan pintas, seperti pencabutan ijin operasional perusahaan pelayaran dan penetapan nahkoda sebagai tersangka. Tetapi masalah substansial yang menjadi akar permasalahan justru hampir tak tersentuh.

Pembentukan Tim Nasional Untuk Evaluasi Keselamatan dan Keamanan Transportasi berdasarkan Keputusan Presiden No. 3 tahun 2007 bukanlah ide buruk, namun di sisi lain semakin menunjukkan ketidakefisienan birokrasi dan tumpang tindihnya kelembagaan, karena Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) yang telah ada mestinya bisa berperan untuk hal tersebut..

Prosedur standar untuk melindungi muatan seringkali diabaikan oleh pihak operator pelayaran. Jumlah penumpang dan jenis barang yang berbeda dengan manifes acapkali terjadi, pemadatan muatan kapal yang tidak memenuhi syarat menunjukkan rendahnya kepedulian terhadap aspek keselamatan dan keamanan transportasi laut. Demi alasan ekonomis, banyak perusahaan pelayaran yang manajemennya buruk tetap mengoperasikan kapal-kapal tua dan tidak laik laut pula. Ironisnya, fenomena ini bukan tidak diketahui oleh nahkoda, syahbandar dan otoritas pelayaran lainnya, namun masalah ini dianggap pelumrahan saja.

Fasilitas pendukung keselamatan penumpang seperti sekoci dan pelampung, jumlah dan keberadaannya seringkali tidak memadai. Daya angkut, keamanan, kenyamanan kapal serta kapasitas dermaga seringkali juga kurang memadai, terutama di bagian timur Indonesia. Fasilitas air bersih di kapal yang kurang dan bahkan kadang-kadang tidak ada, sehingga penumpang harus menahan belasan jam tanpa ke kamar mandi (Kompas, 13/1107).

Selain itu, penumpang kapal juga memiliki kontribusi dalam melalaikan keamanan seperti membawa bagasi berlibihan, meletakannya di sembarang tempat, merokok di sembarang tempat, dan sebagainya. Kesemuanya ini menunjukkan rendahnya kesadaran terhadap keselamatan dan keamanan dalam penggunaan transportasi laut.

Semua kontribusi kesalahan tersebut dengan mudah terjadi karena tidak dilakukannya implementasi pengawasan ketat pelabuhan sesuai aturan IMO (International Maritime Organisation) secara profesional dan kesadaran akan pentingnya keselamatan oleh masyarakat konsumen pengguna jasa transportasi laut yang selama ini termarjinalkan

Peran Konsumen?

Dalam berbagai produk undang-undang, sering disebutkan bahwa keberadaan masyarakat adalah sebagai alat kontrol dalam berbagai aspek penyelenggaraan jasa, baik yang dikelola negara maupun pihak swasta. Namun kebijakan semacam ini perlu diperjelas dalam hal apa masyarakat dapat berperan untuk mengontrolnya. Dalam sistem keselamatan transportasi laut, peran-peran apa sajakah yang sesungguhnya dapat dilakukan oleh masyarakat konsumen?

Masyarakat konsumen hendaknya dilibatkan dalam upaya pengawasan karena pada dasarnya mereka memiliki tiga fungsi yang penting. Pertama, sebagai definer. Artinya konsumenlah penentu layanan yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, sehingga konsumen memberikan kontribusi untuk menentukan standar mengenai kenyamanan, kemudahan akses, serta waktu yang dibutuhkan Kedua, sebagai informan. Artinya konsumen adalah sumber informasi utama mengenai apa yang terjadi dalam pelayanan yang diberikan oleh pihak penyedia jasa, sehingga apabila jasa transportasi laut yang diterima konsumen dirasa tidak memuaskan, konsumen dapat menginformasikan keluhannya kepada penyedia jasa atau pihak berwenang lainnya Ketiga, sebagai evaluator. Konsumen merupakan penerima akhir sebuah pelayanan, maka ia dapat memberikan penilaian yang akurat (baik dan buruk) atas bentuk layanan didapatkannya

Namun untuk bisa menjalankan fungsi tersebut secara optimal, maka konsumen harus memahami seluk beluk pengetahuan tentang jasa transportasi laut (product knowledge), proses pelaksanaan jasa transportasi laut (business process), infrastruktur, serta sumberdaya manusianya. Artinya konsumen harus mengetahui bahwa keempat hal tersebut adalah unsur-unsur utama dalam penyelenggaraan jasa transportasi laut yang aman, serta bentuk pelayanan yang baik dan memenuhi standar.

Fungsi-fungsi konsumen ini sangat mendesak untuk diakomodasi oleh penyedia jasa transportasi laut sebagai pelaku usaha dan oleh instansi pemerintah yang berkepentingan sebagai regulator. Penumpang sebagai konsumen selayaknya diberi sarana untuk menyampaikan umpan balik dan didengar saran-sarannya demi perbaikan jasa transportasi laut.

Umpan balik (feedback) dari penumpang inilah yang akan sangat berguna untuk membantu menentukan prioritas penyelesaian masalah jasa transportasi laut sebagi upaya kontrol dan pembenahan manajemen. Dengan mengetahui prioritas, pelaku usaha dan regulator akan dapat menetapkan langkah apa yang harus diambil terlebih dahulu untuk menangani masalah-masalah yang paling mendesak, dan selanjutnya secara bertahap menyelesaikan semua permasalahan yang dikeluhkan penumpang.

Wadah atau institusi yang akan menerima penyampaian umpan balik dari konsumen ini dapat berupa badan atau lembaga khusus yang bekerja untuk menampung pengaduan konsumen dan menyelesaikannya secara cepat dan tepat. Keberadaan badan pengaduan atau penyelesaian sengketa konsumen yang baik memiliki indikator-indikator sebagai berikut:

Segi Akses (Access)
  • Biaya murah, bahkan idealnya gratis.
  • Prosedur sederhana, tidak berbelit-belit.
  • Memiliki bukti-bukti (Evidence) yang berfokus pada keadilan.
  • Menyeluruh (Comprehensive), semua aspek pengaduan tercakup dalam sekali penyelesaian.
  • Dapat diakses langsung (Directly accessible), konsumen yang mengadu tidak dilempar ke sana ke mari.
  • Disosialisasikan secara baik dan dimengerti oleh konsumen (well advertised and understood by consumers), sehingga tidak ada konsumen yang merasa asing atau bahkan tidak tahu tentang keberadaan badan pengaduan ini. Ketersediaan (availability), artinya tersedia untuk semua konsumen jasa transportasi laut di berbagai tempat di Indonesia, tidak hanya di pelabuhan-pelabuhan besar saja.
Segi Kejujuran (Fairness)
  • Pertanggungjawaban kepada publik (public accountability), memiliki skema yang diketahui publik dan keputusannya disampaikan kepada publik.
  • Independen, tidak terpengaruh siapa yang mendanai, petugas dibentuk oleh badan independen dan ada perwakilan konsumen.
  • Hati nurani (natural justice), konsumen memiliki hak untuk berkonsultasi dengan ahli sebelum mengajukan pengaduan.
Segi Keefektifan (Effectivity)
  • Ruang lingkupnya menyeluruh dan memuaskan pengguna jasa maupun regulator dan pelaku usaha.
  • Kecepatan, waktu penyelesaian pengaduan singkat.
  • Mengatasi problem sistemik (address systemic problems), bukan hanya kasus-kasus individual.
  • Keputusan yang mengikat pelaku usaha.

Rekomendasi dan Solusi Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8/1999, konsumen memiliki hak untuk didengar dan hak untuk mendapatkan ganti rugi. Oleh karenanya jika mengacu pada keberadaan UU tersebut, maka upaya perbaikan bagi pelayanan transportasi laut sebaiknya mulai dirancang dengan lebih mengikutsertakan dan mengakomodir kepentingan konsumen.

Dengan demikian tidak ada salahnya jika pemerintah sebagai regulator dan penyedia layanan transportasi laut sebagai provider atau operator dapat mencoba membentuk suatu divisi atau badan mediasi bagi pengaduan konsumen. Badan atau divisi ini berfungsi lebih dari sekedar customer service bagi konsumen yang mengajukan keluhan, namun juga mampu menjalankan aktivitasnya untuk menggali kebutuhan-kebutuhan konsumen akan moda transportasi ini (demand side). Keterlibatan konsumen sebagai pengguna transportasi laut dalam pemecahan masalah, diharapkan dapat menjadi pemicu untuk terciptanya sistem transportasi laut yang selamat, aman dan nyaman sehingga tidak terjadi kecelakaan yang sia-sia.


Indah Suksmaningsih,
Anggota Badan Perlindungan Konsumen (BPKN) dan Anggota Pengurus Harian YLKI

Tidak ada komentar: