Krisis kedelai akhirnya menjadi kenyataan. Kebutuhan kedelai demestik yang 60 persen tergantung / dipasok kedelai impor menempatkan Indonesia dalam posisi yang sangat rentan dalam pemenuhan kebutuhan kedelai dalam negeri.
Malapetaka itu datang ketika dalam kurun kurang dari enam bulan, komoditas kedelai mengalami kenaikan hampir seratus persen. Dampak ekonomi sudah pasti dan apabila tidak ditangani dengan bijak, krisis kedelai potensial menjadi bola liar, termasuk implikasi politis.
Politisasi krisis kedelai memang sulit dihindari, karena komoditas kedelai sangat erat kaitannya dengan kepentingan publik, khususnya masyarakat menengah ke bawah. Baik dalam kapasitas sebagai pelaku usaha skala rumah tangga yang berbahan baku kedelai, seperti produsen tempe dan tahu, maupun dalam kapasitas sebagai konsumen tempe dan tahu, produk pangan murah yang kaya protein.
Dan dalam situsi seperti ini, pemerintah baru “bertindak” ketika didemo ratusan produsen tempe dan tahu di depan istana, karena sebagai produsen tempe digencet dari atas dalam bentuk kenaikan harga kedelai secara ekstrem dan dari bawah dalam bentuk tekanan konsumen yang daya belinya rendah, sehingga tidak mudah bagi mereka untuk langsung menaikkan harga jual tempe.
Ironis memang. Betapa tidak ? Negara agraris dengan puluhan institut pertanian/fakultas pertanian yang tersebar di di berbagai penjuru nusantara yang setiap tahunnya melepas ribuan sarjana pertanian, ditambah presidennya bergelar akademik doktor di bidang ilmu pertanian tidak becus mengelola produk pangan yang lekat dengan kehidupan masyarakat kecil, yaitu kedelai.
Apa sebenarnya yang terjadi dengan dunia perkedelaian kita? Apa yang dilakukan pemerintah (Departemen Pertanian) selama ini? Serta, adakah pemerintah mempunyai instrumen berupa early warning sytem yang mampu mendeteksi gejolak harga kedelai berikut impikasi yang ditimbulkan di pasar kedelai domestik?
Perjanjian International & Studi Dampak
Krisis kedelai sekali lagi mengonfirmasi bahwa ketika Pemerintah Indonesia menandatangani dan meratifikasi berbagai perjanjian international, termasuk ratifikasi sebagai anggota WTO, dilakukan tergesa-gesa dan tanpa terlebih dahulu didahului dengan konsultasi publik yang memadai, serta tidak didahului dengan adanya studi dampak.
Hasilnya adalah ketika liberasi perdagangan produk pertanian dibuka, termasuk komoditas kedelai, pemerintah sering menyederhanakan masalah dalam bentuk mengatasi kekurangan pasokan domestik selalu diselesaikan dengan instrumen impor. Tanpa berpikir panjang implikasi jangka panjang terhadap kepentingan petani.
Ketika terjadi krisis kedelai, pemerintah seperti kebakaran jenggot. Semua energi dikerahkan untuk menyelesaikan masalah kedelai, seolah masalah krisis kedelai datang tiba-tiba. Padahal krisis kedelai terjadi sebagai dampak dari akumulasi kebijakan pemerintah yang tidak pernah fokus dalam tata niaga komoditas produk pertanian dan karakater persoalan kedelai tidak dapat diselesaikan secara adhoc dalam jangka pendek.
Hal lain yang juga tidak dilakukan pemerintah adalah tidak pernah menyiapkan pelaku usaha skala kecil berbasis bahan paku kedelai, seperti produsen tempe dan tahu, berikut konsumen tahu dan tempe tentang posisi rentannya pasokan kedelai domestik karena terlalu tergantung impor, serta kemungkinan terjadinya gejolak harga kedelai di pasar international yang akan berimbas ke pasar domestik.
Kebijakan Impor Kedelai
Biang keladi dari krisis kedelai sebenarnya bermula ketika pemerintah membuka kran impor kedelai. Lebih celaka lagi kedelai yang diimport berasar dari Amerika Serikat dimana petani kedelai disubsidi oleh pemerintah di tambah kebijakan Pemerintah Amerika yang memberi fasilitas kredit ekspor, yang memungkinkan pembayaran enam bulan sejak pengiriman barang.
Ibarat bertarung di arena ring tinju, petani kedelai Indonesia dan petani kedelai Amerika ibarat Mike Tyson melawan Chris Jhon. Impor kedelai mengakibatkan harga kedelai anjlog, berakibat secara berangsur petani kedelai di Indonesia mundur teratur beralih ke komoditas lain.
Ditengah kebutuhan kedelai domestik meningkat, justru produksi kedelai domestik menurun, sehingga kontribusi kedelai impor dalam memenuhi kebutuhan kedelai domestik dari tahun ke tahun semakin besar. Inilah awal malapetaka.
Produk Rekayasa Genetika
Hal yang tidak pernah disadari publik di Indonesia, sebagian besar produk kedelai yang masuk ke Indonesia ada indikasi kuat hasil budidaya melalui rekayasa genetika, yang oleh sejumlah negara, khususnya Uni Eropa masih menjadi kontroversi, kaitannya dengan dampak kesehatan dan lingkungan dari produk hasil rekayasa genetika.
Pemerintah Amerika, melalui kebijakan kredit ekspor, mempunyai kepentingan untuk membuang ke luar produk kedelai karena kelebihan pasokan. Indonesia dengan jumlah penduduk 230 juta adalah sasaran Amerika untuk membuang produk kedelai Amerika.
Perpu tentang Ketahanan Pangan
Krisis kedelai harus dijadikan momentum untuk menafsirkan ulang makna ketahanan, tidak hanya dipahami dalam pengertian ketahanan dari aspek keamanan akan ancaman bahaya yang datang dari dalam dan luar negeri, tetapi harus ditafsirkan secara ekstensif dalam arti luas termasuk ketahanan pangan.
Mengingat krisis kedelai menyangkut kepentingan hayat hidup orang banyak yang memiliki potensi mengganggu stabilitas nasional, adalah tepat apabila pemerintah menyatakan Negara dalam keadaan darurat ketahanan pangan, untuk selanjutnya mengambil langkah politis dan hukum dalam bentuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang berisi langkah-langkah yang akan diambil pemerintah dalam mengatasi krisis kedelai sekaligus untuk mewujudkan kedaulatan pangan.
Sudaryatmo,
Anggota Pengurus Harian YLKI
Abbott loses credibility on carbon policy
15 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar